Engkau tak perlu tahu, bahan dasar dari Blog sederhana ini adalah cinta yang sedang menyala...

Cinta dan Pengorbanan *)

Mereka adalah Ibrahim dan Ismail

“Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!" Ia menjawab: "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar”(QS. Asshaffat: 102 )

Sekelumit kisah dan diskusi pendek seorang ayah dengan anak semata wayangnya yang di abadikan dalam al-Quran. Sebuah perbincangan yang mengharukan dari seorang bapak kepada anaknya. Singkat, tapi kita bisa merasakan betapa semuanya memang lahir dari ketulusan.

Allah SWT. memberikan karunia-Nya kepada Ibrahim yaitu dengan lahirnya Ismail dari rahim istrinya, Hajar. Ibrahim gembira, bahagia dan dengan begitu, berarti mimpi indah itu kini benar-benar jadi kenyataan, permohonannya dikabulkan dan yang selama ini diharapkan ternyata tidak sia-sia.

Ismail tumbuh sebagai anak yang cakap, cerdas, patuh dan saleh juga segudang kelebihan lain yang tak dimiliki anak sebayanya. Tapi siapa sangka setelah dia mencapai usia yang sangat menyenangkan, Allah SWT. Justeru memerintahkan Ibrahim menyembelihnya, Ismail, seorang anak yang sekian lama ia dambakan.

Sejenak, mari kita renungkan, “Bagaimana andai kita berada di pihak Ibrahim kala itu?”. Siapkah kita mengerjakan perintah-Nya? Relakah kita kehilangan orang yang kita cinta tanpa alasan yang jelas? Belum tentu. Itulah jawaban yang sangat mungkin (kalau tidak mau dikatakan seratus persen tidak). Apalagi jika melihat realita kehidupan kita sehari-hari. Tidak bisa dipungkiri bahwa kita lebih terpesona oleh gemerlap dunia bahkan tidak jarang menganggap cinta adalah segalanya.

Lain halnya dengan Ibrahim. Tak pernah terlintas dalam benaknya untuk menyoal dan mempermasalahkan keputusan Tuhan. Tak pernah dia bertanya: “Tuhan, mengapa Engkau memerintahkan demikian? Bukan-kah Engkau tahu bahwa Ismail adalah tambatan hatiku?”. Malah dengan sangat bijak, demokratis, lembut dan penuh kasih dia ceritakan perihal wahyu tersebut pada Ismail: "Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu?!"

Dengan tidak kalah mengejutkan, tanpa ragu-ragu Ismail menjawab:” "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar” Selanjutnya, “ Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis(nya), (nyatalah kesabaran keduanya ). Dan Kami panggillah dia: "Hai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar. Kami abadikan untuk Ibrahim itu (pujian yang baik) di kalangan orang-orang yang datang kemudian, (yaitu)"Kesejahteraan dilimpahkan atas Ibrahim". Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ia termasuk hamba-hamba Kami yang beriman". Demikian al-Qur’an berkisah tentang cinta dan pengorbanan mereka, yang pada gilirannya kita dapat mengenal istilah “berkurban” dalam Islam dan tentunya hal itu juga bisa kita jadikan upaya mengenang peristiwa besar tersebut.

Belajar Cinta

Dalam sejarah kehidupan, cinta bukanlah hal baru tapi uniknya, ia tak pernah basi dibicarakan. Sejak zaman manusia mengenal kehidupan, sampai sekarang, bahkan sampai kiamat sekalipun cinta akan selalu menarik dibahas. Cinta adalah pembunuh, cinta adalah penderitaan, cinta adalah buta, cinta adalah… adalah… dan seterusnya… demikian manusia mendefinisikan dan mempersepsikan cinta semata-mata menurut yang mereka rasa, pengalaman pribadi maupun orang lain. Namun tak ada satupun definisi atau persepsi tentang cinta yang cukup mampu menyingkap kesejatian dan menjelaskan maknanya yang terdalam.

Nah, Islam hadir di tengah-tengah umat manusia dengan segala petunjuknya dalam setiap aspek kehidupan kita. Cinta sekalipun tak luput dari perhatiannya. Bahkan Islam menempatkan cinta sebagai anugerah agung dan di antara pemberian terindah untuk umat manusia. Secara tegas menjadikan cinta sebagai salah satu barometer kesempurnaan iman seorang muslim; sebagaimana disebutkan dalam hadits:" tidak beriman salah seorang dari kalian sebelum ia mencintai saudaranya sebagaiman ia mencintai dirinya sendiri (HR. Bukhari no. 13, Muslim no. 45).

Jadi, Islam tak pernah melarang siapapun untuk saling mencintai. Tidak ada yang salah dengan perasan ini. Tentunya selama tidak keluar dari aturan yang sudah digariskan-Nya. Karena kalau tidak demikian, cinta hanya akan menjadi bencana, baik di dunia maupun dalam kehidupan selanjutnya.

Cinta sejati model inilah yang dipraktekan dan dimiliki oleh Ibrahim dan Ismail. Keduanya sadar bahwa penempatan yang salah hanya akan menyengsarakan dan menuai penyesalan. Dalam al-Qur’an Allah berfirman: “Katakanlah: "jika bapa-bapa , anak-anak , saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan RasulNYA dan dari berjihad di jalan NYA, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan NYA". Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik (QS. At Taubah: 24). Oleh karena itu, tidak heran kiranya jika keduanya mendapat pujian langsung dari Allah dan kisahnya pun diabadikan dalam firmannya, al-Quran. Meminjam istilah Aluf Labini, “Cinta sejati tidak akan pupus oleh waktu, tidak akan lapuk oleh panasnya sinar mentari juga tidak akan terombang-ambing oleh kerasnya ombak dan badai kehidupan.”

Nilai Sebuah Pengorbanan

Kata orang, "Ungkapan cinta akan hampa tanpa makna saat ia hanya di bibir saja". Tanpa harus memperdebatkan validilitas ungkapan dan sumbernya, barangkali tidak salah jika kita meng-iyakan, mengingat kenyataan di lapangan bahwa “hampir” setiap orang dengan mudahnya berbicara ketulusan, kerinduan dan mengungkapkan kata-kata cinta di hadapan pujaan hatinya. Tapi apakah semua itu cukup membuktikan kebenaran isi hati dan perasaanya? Tidak. Cinta masih membutuhkan banyak hal, termasuk sebuah pengorbanan. Seperti Ibrahim AS., dia rela mengorbankan segalanya, termasuk darah dagingnya sendiri. Ismail juga dengan ikhlas mau mengorbankan nyawanya. Subhanallah! Padahal, perintah penyembelihan hanya sebatas mimpi. Tidak lebih. Benar apa yang dikatakan orang, “ Andaikan cintamu tulus nan sejati pasti engkau akan taat kepada-Nya. Karena sang pecinta akan taat pada yang dicinta.”

Aktualisasi dalam Kehidupan

“Yā Bunayya”, hai anak ku. Begitulah Ibrahim menyapa Ismail, ungkapan lembut penuh kasih. Sebagai seorang ayah, dia telah mengajarkan keterbukaan, demokrasi, dari hati ke hati. Dia berhasil menanamkan sikap dewasa dalam jiwa Ismail, juga menumbuhkan butir-butir ketulusan cinta dalam hatinya sejak usia dini.
Konon, sebelum acara penyembelihan di laksanakan, dia berpesan:” Aku hanya meminta dalam melaksanakan perintah Allah itu, agar ayah mengikatku kuat-kuat supaya aku tidak banyak bergerak sehingga menyusahkan ayah, kedua agar menanggalkan pakaianku supaya tidak terkena darah yang akan menyebabkan berkurangnya pahalaku dan terharunya ibuku bila melihatnya, ketiga tajamkanlah parangmu dan percepatkanlah perlaksanaan penyembelihan agar menringankan penderitaan dan rasa pedihku, keempat dan yang terakhir sampaikanlah salamku kepada ibuku berikanlah kepadanya pakaian ku ini untuk menjadi penghiburnya dalam kesedihan dan tanda mata serta kenang-kenangan baginya dari putera tunggalnya." Lagi-lagi, subhanallah! Sungguh mengagumkan.

Kembali ke msa lalu memang tidak mungkin. Tapi tidak mustahil akan mencapai hal yang sama (atau paling tidak mendekati) jika menempuh jalan atau cara yang sama pula. Kaitannya masalah ini dengan kisah di atas adalah, kita memang tidak mungkin menghadirkan Ibrahim dan Ismail ke zaman kita sekarang begitupun sebaliknya. Tapi tidak menutup kemungkinan akan mendapat pujian yang sama dari Allah SWT.

Sebagai hamba, keduanya telah mengajari kita tentang cinta dan cara menempatkannya secara tepat dan benar, membedakan cinta kepada Allah SWT. dengan makhluk-Nya. Sekuat dan sebesar apa pun cinta kepada mkhluk tak pernah sedikit pun membuat terlena, buta, lupa, apalagi mengabaikan perintah-Nya. Mereka berhasil menghadirkan Tuhan dalam jiwa dan hati mereka.
(* Ditulis oleh: Miski M.

0 comments:

Posting Komentar