BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masalah
Secara khusus,
Al-Quran diturunkan di tanah Arab, di tengah-tengah komunitas dan masyarakat
dengan bahasa Arab, dan yang paling penting juga adalah ia dengan menggunakan
bahasa Arab. Kaitannya dengan hal ini, secara tegas Allah berfirman:
y7Ï9ºxx.ur !$uZøym÷rr& y7øs9Î) $ºR#uäöè% $|Î/ttã uÉYçGÏj9 ¨Pé& 3tà)ø9$# ô`tBur $olm;öqym uÉZè?ur tPöqt ÆìôJpgø:$# w |=÷u ÏmÏù 4 ×,Ìsù Îû Ïp¨Ypgø:$# ×,Ìsùur Îû ÎÏè¡¡9$# ÇÐÈ
Dan demikianlah Kami Wahyukan al-Quran kepadamu dalam bahasa Arab,
agar engkau memberi peringatan kepada penduduk ibu kota (Mekah) dan penduduk
(negeri-negeri) di sekelilingnya serta memberi peringatan tentang hari
berkumpul (Kiamat) yang tidak diragukan adanya. Segolongan masuk surga dan
segolongan masuk neraka.[1]
Namun, meskipun
begitu, ada beberapa bahasa al-Quran yang tidak bisa dipahami secara mudah oleh
mereka. Dan, sebagai rujukan utama, mereka bertanya kepada Rasulullah Saw. lalu
beliau pun menjelasakan. Hal ini tentu saja merupakan kemestian, mengingat
posisi beliau sebagai rasul dan penerjemah wahyu Tuhan.[2]
Seiring
berjalannya waktu, Rasulullah Saw. pastinya tidak mungkin selamanya bersama
para sahabat. Ada keterputusan risalah kenabian dan kerasulan, yang
ditandai dengan wafatnya beliau. Selanjutnya misi menyampaikan pesan al-Quran diperankan
oleh para sahabat beliau RA. Sebuah kenyataan yang memang tidak bisa ditolak,
karena memang mereka yang belajar langsung dari beliau. Ditambah lagi dengan
fakta tersebarnya Islam yang semakin meluas ke berbagai negeri, yang
mengakibaatkan kebutuhan tentang penafsiran al-Quran sudah merupakan
keniscayaan.
Di kalangan sahabat Nabi Saw. dikenal banyak
ahli tafsir al-Quran, antara lain para khalifah yang empat: Abu Bakar,
‘Umar, Utsman, dan ‘Ali,
Ibnu ‘abbas, dan lain-lain. Dan, yang dikenal paling banyak riwayatnya dalam bidang
ini dari beberapa tokoh yang disebutkan di atas adalah Ibnu ‘Abbas.
Inilah salah satu
sisi menarik yang melatarbelakangi penulisan makalah ini. Dikatakan salah
satunya, karena bagaimanapun hal ini juga ada kaitan dengan tugas yang sedang
diamanatkan kepada kelompok kami.
Untuk mendapatkan
sedikit gambaran mengenai Ibnu ‘Abbas; tafsir; metode, corak, dan hal-hal lain
yang berhubungan, maka penulis hanya membahas beberapa hal saja, seperti yang
akan dipaprkan pada bab selanjutnya.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Biografi
Ibnu ‘Abbas[3]
Dalam sejarah
penafsiran dikenal tokoh ulama’ ahli tafsir pertama yakni ialah Habrul Ummah
Ibnu Abbas R.A. beliau merupakan sepupu rosulullah jika dilihat dari namanya
pun sudah dapat diketahui secara jelas yakni Abdullah bin Abbas bin Abdul
Mutholib bin Hasyim bin Abdi Manaf al-Quraisyi al-Hasyimi sedangkan Ibunya
bernama Umul Fadl Lubanah bint al-Harits al-Hilaliyah. Kedekatanya dengan
Rasulullah mewarnai perjalanan tafsir Ibnu Abbas.
Ibnu Abbas
lahir di Syi’b dan mengenai waktu lahir Ibnu Abbas, telah terjadi
perbedaan dikalangan ulama, menurut
Husain ad-Dhahabi dalam Tafsir wa al-Mufassirun ibnu Abbas berusia 13 tahun
ketika Rasulullah wafat (633 M) itu artinya ia lahir sekitar tahun (620 M) yang
bertepatan dengan tahun pertama Hijriyah dan juga bertepatan dengan peristiwa
pembaikotan kaum Quroisy kepada kaum Hasyim, namun menurut Mana’ al-Khattan ada
dua pendapat, yakni Ibnu Abbas lahir 3 tahun sebelum Hijriyah dan menurut
sebagian lainya Ibnu Abbas lahir 5 tahun sebelum Hijriyah. Dan pendapat yang
lebih di pegang oleh Mana’ al-Khattan ialah tahun 3 sebelum Hijriyah.
Ibnu Abbas
merupakan ulama yang tidak diragukan lagi tentang kapabilitasnya sebagai
seorang yang mendalami berbagai ilmu yang dibutuhkan dalam penafsiran, ia
merupakan orang yang bahkan dikatakan mampu melakukan loncatan penafsiran
kedalam tafsir yang bernuansa isy’ari dengan alasan inilah Ali bin Abi Thalhah
(w. 143 H)—salah satu orang yang mengumpulkan berbagai riwayat penafsiran Ibnu
Abbas—menjuluki Ibn Abbas dengan orang yang bisa melihat hal ghoib secara jelas
dibalik tabir. Selain itu banyak lagi julukan yang disandang oleh Ibnu Abbas
seperti Habrul (Pemuka, sang tokoh), bahrul (lautan) dan masih banyak lagi
julukan yang ia sandang seperti turjuman al-Qur’an yang mendeskripsikan tentang
keluasan ilmu dan perangainya bahkan ia dikatakan sebagai juru tafsir paling
baik oleh Baihaqi dalam kitabnya ad-Dala’il yang meriwayatkan dari Ibn Mas’ud.
Ibn Abbas
bahkan telah melampaui usianya dalam ukuran pengetahuan dan wawasan, ia sangat
dihargai dan dipercayai oleh Umar entah karena apa alasanya namun Ketika masa
Umar Ibn Khottob dimana pada masa itu sering terjadi diskusi antara Shohabat
dan pemuka umat, suatu ketika Umar Ibn Khottob mengajak serta Ibnu Abbasdalam
perkumpulan pemuka umat yang kesemuanya merupakan sesepuh yang ahli ilmu,
detika Ibnu Abbas yang saat itu masih berusia muda berada di tengah-tengah tokoh-tokoh
yang berpengaruh, ternyata ada suatu pertanyaan melayang pada Umar tentang
mengapa ia mengajak seorang anak yang dianggap ingusan. Dengan tenang, Umar
mencoba menguraikan kesanya terhadap anak yang ia ajak serta ke pertemuan itu,
ia mengemukakan suatu ayat dan mempersilahkan para pemuka yang hadir kedalam
pertemuan itu untuk menafsirkanya, setelah usai ditafsiri, Umar menganggap
penafsiran yang kemukakan leh para ulama itu belum memuaskan hatinya dan pada
akhirnya uraian-demi uraian kata Ibnu Abbas keluar untuk mencoba menafsiri
ayat-ayat tersebut dan puaslah Umar atasnya.
Ada kisah
menarik lain dari Ibnu Abbas yang sekaligus bisa jadi merupakan jawaban dari
mengapa seorang Ibnu Abbas yang semenjak usia muda bahkan telah mempu melampaui
pemuka ulama di zamanya. Suatu ketika Nabi pernah merangkul dan mendo’akanya,
“ya Allah ajarkanlah kepadanya Hikmah” dalam Mu’jam Baghawi dan lainya
diriwayatkan bahwa Umar R.A. prnah mendekati Ibnu Abbas dan berkata “Sungguh
saya pernah melihat Rosulullah pernah mendo’akanmu, lalu membelai kepalamu dan
meludahi mulutmu dan berdo’a “ya Allah berilah ia pemahaman dalam urusan agama
dan ajarkanlah ia ta’wil.”
Ibnu
Abbas besar dalam lingkungan rumah tangga kenabian, di mana beliau selalu hadir
bersama Rasulullah sejak kecil. Beliau selalu mendengar banyak hal dari Rasul,
dan menyaksikan kejadian serta berbagai peristiwa yang menyebabkan turunnya
ayat-ayat al Qur’an. Bahkan beliau pernah dua kali menyaksikan Malaikat Jibril
bersama dengan Nabi.
Salah
satu keistimewaan beliau yang merupakan salah satu bangunan penafsiranya ialah Interaksi
beliau dengan para sahabat senior sesudah wafatnya Rasulullah. Dari
sahabat-sahabat senior tersebut, Ibnu Abbas belajar berbagai hal yang berkaitan
dengan al Qur’an seperti tempat-tempat turunnya al Qur’an, sebab-sebab turunnya
ayat dan lain sebagainya. Upaya untuk belajar dan bertanya tersebut diungkapkan
oleh Ibnu Abbas sendiri : “Aku banyak mendapatkan hadits Rasul dari
kalangan Anshar. Bila aku ingin mendatangi salah satu di antara mereka, maka
aku akan mendatanginya. Boleh jadi aku akan menunggunya hingga ia bangun tidur
kemudian aku bertanya tentang hadist tersebut kemudian pergi.
Pengetahuan
beliau yang sangat luas tentang bahasa Arab terutama kaitannya dengan uslub-uslubnya
dan puisi-puisi Arab kuno yang amat berguna untuk mendukung pemahaman beliau
terhadap al Qur’an.
Kecerdasan
otak yang merupakan anugerah Allah yang membuat Ibnu Abbasma mpu untuk
berijtihad dan berani menerangkan berbagai hal yang beliau anggap benar dalam
penafsiran al Qur’an.
Mana’
al-Khattan dalam kitabnya memasukan penafsiran Ibnu Abbas sebagai Tafsir yang
landasanya ialah bil ma’tsur yang artinya ialah dalam menafsiri, Ibnu
Abbas berpedoman pada landasan nash, namun perlu diingat ketika kita
membaca tafsir Ibnu Abbas ini akan banyak ditemukan suatu penafsiran yang lebih
bercorak isy’ari dan hal ini diperkuat dengan kisahnya ketika duduk
bersama pemuka umat pada masa Umar dalam menafsiri surat al-Nashr selain itu
juga dengan melihat do’a rosul yang disitu rosul mendo’akan Ibnu Abbas agar
diajarkan oleh Allah suatu Ta’wil menunjukan bahwa tafsir ini diwarnai pula
oleh landasan isy’ary. Mencoba mencari kejelasan mengenai hal ini, bahwa
pernyataan Imam Mana’ al-Khattan tidaklah salah jika ia menganggap Isy’ari
merupakan cakupan dari bi al-Ra’yi, selain itu, sebagai alasan lain juga
tidaklah salah jika ia menganggap dalam tafsir Ibnu Abbas lebih didominasi oleh
ke-ma’tsur-an.
Pada era
kontemporer, setelah banyak dilakukan penelitian, Prof Ignaz Goldziher menyatakan
dalam kitabnya Madzahib al-Islamiyah fi Tafsir al-Qur’an menyatakan
bahwa Ibnu Abbas dengan tanpa melakukan seleksi ketat, mengutip dengan
sembarangan kisah ahli kitab, pendapat ini disepakati pula oleh Prof. Ahmad
Amin dalam bukunya Fajr al-Islam. Namun keduanya dibantah oleh Prof. Muhammad
Husain Adzahabi yang menjelaskan mengenai upaya yang dilakukan Ibnu Abbas dalam
menggali informasi dari Ahl Kitab tidaklah berkenaan dengan penafsiran tentang
ayat yang menjadi pokok ibadah, namun berkenaan dengan hal-hal lain dan yang
dianggap telah valid nilai kebenaranya sehingga bokan secara babi buta.
Pada
tahun 36 H. beliau ditunjuk oleh Khalifah Utsman bin Affan untuk menjadi Amirul
Haj sebelum Usman
terbunuh oleh kudeta yang terjadi sekitar (655 M). ia pernah menjadi Gubernur
Bashrah dan menetap di sana sampai ali wafat, kemudian ia mengangkat Abdullah
bin Haris sebagai penggantinya sebagai Gubernur Bashrah, sedang ia sendiri
pulang ke Hijaz.
Ibnu Abbas
menghembuskan nafas terakhir di Tha’if, namun mengenai waktu beliau wafat
kembali terjadi perbedaan pendapat; diantaranya ialah 65, 67, dan 68 H. dan,
pendapat terakhir inilah yang dipandang shahih oeh para ulama.
1.
Guru-guru Ibnu ‘Abbas
Diantara guru-guru Ibnu ‘Abbas
adalah:
a.
Rasulullah Saw.;
b.
‘Umar bin Khaththab;
c.
Ubai bin Ka’b;
d.
‘Ali bin Abi Thalib; dan,
e.
Zaid bin Tsabit.
2.
Murid-murid Ibnu ‘Abbas
Banyak yang menjadi murid Ibnu ‘Abbas dari kalangan Tabi’in, antara
lain yang paling terkenal adalah:
a.
Sa’id bin Jubair;
b.
Mujahid;
c.
Thawus bin Kaisan al-Yamani;
d.
‘Ikrimah;
e.
‘Atha.[4]
B.
Pengaruh Penafsiran Ibnu ‘Abbas
Bagi kelompok bi al ma’tsur (penafsiran memalui tradisi) Ibnu Abbas telah memberikan panduan penafsiran al Qur’an terbaik, dengan membiarkan al Qur’an saling menjelaskan keterkaitan yang saling berhubungan
antara satu ayat dengan ayat lainnya.
Sebab penafsiran al Qur’an dengan al Qur’an sendirilah yang memiliki validitas kebenarannya yang paling kuat. Bila tidak ditemukan penjelasan tersebut dari al Qur’an,
maka beliau merujuk kepada hadits Nabi yang sahih. Kedudukan hadits yang merupakan
penjelas bagi al Qur’an juga diyakini sebagai salah satu alternatif untuk menyingkap
makna-makna yang cukup
sulit untuk dipahami. Kedua cara yang ditempuh oleh
Ibnu
Abbas
tersebut pada akhirnya menjadi standar baku bagi kelompok penafsir al Qur’an bi
al ma’tsur untuk masa selanjutnya.
Kelompok mufassir bi al Ra’yi (Penafsiran melalui nalar)
juga memperoleh inspirasi penafsiran dari metode yang telah digagas oleh Ibnu Abbas. Bagi Ibnu Abbas,
bila keterangan sebuah makna ayat tidak ia temukan
di
dalam al Qur’an atau dari hadits
nabi, maka beliau
berupaya untuk merujuknya
kepada sair-sair Arab kuno ataupun
percakapan-percakapan Arab Badui yang memiliki tingkat kemurnian bahasa yang tinggi.
“Keluarnya” Ibnu
dari lingkaran al Qur’an dan Hadits Nabi tersebut
adalah
sebuah
keberanian dan merupakan ijtihad dalam bentuk lain. Dan tentunya keberanian
untuk melakukan ijtihad bukanlah keberanian
yang bersifat apriori, namun dilandasai oleh niat
dan
keinginan yang kuat
untuk menyingkap makna-makna terdalam dari al Qur’an. Seperti yang diceritakan sendiri oleh Ibnu Abbas, bahwa beliau
tidak pernah tahu
arti dari
kata
fathiru al samawaat sampai suatu ketika beliau mendengar dua orang
Arab Badui
tengah bertikai masalah sebuah sumur. Salah seorang dari Arab
Badui mengatakan
: ana Fathortuha (aku yang membuatnya). Dengan adanya percakapan tersebut,
barulah beliau mengetahui maksud dari kata
: Fathara
Bahkan beliau tidak segan-segan untuk mencari sumber penafsiran
dari
kalangan ahli
kitab yang telah memeluk agama Islam, baik dari
kalangan Yahudi seperti Abdullah bin Salam maupun dari kalangan Nasrani seperti Ibnu Juraij. Namun
sebagaimana yang dikatakan oleh Husain adz Dzahabi, bahwa eksplanasi tersebut hanya berkaitan dengan
pambahasan yang sangat terbatas dan adanya kecocokan
sejarah antara al Qur’an dan
kitab-kitab samawi lainnya. Akan tetapi jika berseberangan dengan
keterangan al Qur’an atau bahkan bertentangan
dengan syari’at Islam, menurut Adz Dzahabi, Ibnu Abbas tidak
mempergunakan penafsiran ahli kitab.
Keberanian Ibnu Abbas untuk mencari sumber-
sumber penafsiran dari selain al Qur’an
dan hadits nabi menjadi inspirasi
penting bagi
kalangan ahlu al ra’yi untuk juga memaksimalkan penggunaan akal fikiran sebagai salah satu
alternatif penafsiran al Qur’an.[5]
Meskipun pemikiran Ibnu Abbas yang berkaitan dengan tafsir lebih banyak dipahami melalui jalur periwayatan, akan tetapi
para ulama mencoba untuk memadukan berbagai pemikiran Ibnu Abbas dalam menafsirkan ayat-ayat al Qur’an. Berbagai riwayat telah dikumpulkan
sehingga menjadi sebuah kitab yang menghimpun
pemikiran Ibnu Abbas dalam memahami al Qur’an, mulai dari surat al Fatihah sampai dengan surat al Naas. Kumpulan penafsiran
tersebut
diberi
judul
Tanwirul Miqbas min Tafsiri Ibni Abbas. Riwayat-riwayat yang berkaitan dengan penafsiran al
Qur’an ini dikumpulkan oleh Abi Thahir Muhammad bin Ya’qub al Fairuzzabadi al-Syafi’i.
Menurut adz Zahabi, segala sesuatu yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas dalam tafsir ini hanya melalui jalur periwayatan Muhammad
bin Marwan as Suday al Shaghir
dari
Muhammad bin Saib al Kalbi dari Abu Shaleh dari Ibnu Abbas. Secara pribadi, adz Dzahabi meragukan
seluruh riwayat yang ada dalam tafsir tersebut dinisbahkan
kepada Ibnu Abbas, sebagaimana keraguan yang juga dialami oleh Imam Syafi’i. Menurut
asy Syafi’I, riwayat-riwayat yang berkaitan dengan Ibnu Abbas dalam masalah tafsir hanya
berjumlah ratusan. Artinya bila riwayat tersebut meliputi seluruh ayat al Qur’an yang berjumlah
ribuan, maka ada sebagian yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.
Tafsir ini diterbitkan di Mesir dan cetakan lainnya berasal dari Beirut. Dari cetakan aslinya, kitab ini tidak
memiliki kata pengantar,
sehingga tidak
dapat
diselami
lebih jauh lagi
tentang
keberadaan
penulis kitab tersebut. Namun al Fairuzzabadi
sendiri bukanlah
orang yang
tidak dikenal. Belaiu adalah pengarang kamus al Muhith
yang terkenal dan
ahli
dalam bidang bahasa. Pola penafsiran yang ditampilkan
dalam tafsir ini memiliki kesamaan
dengan penafsiran yang dilakukan oleh Imam Jalaluddin As Suyuthi dalam Tafsir
al Jalalain. Dalam kitab tersebut, mufassir
berupaya untuk menafsirkan
dan menjelaskan
kalimat per kalimat, sehingga makna setiap kalimat dapat dengan
mudah dimengerti oleh
pembaca. Hal ini dilakukan penulis mulai dari surat al Fatihah hingga surat al Baqarah.
Dilihat dari judul
kitab tersebut, maka pembaca digiring kepada sebuah kesimpulan, bahwa penafsiran yang dilakukan
di dalam kitab ini semuanya mengacu kepada penafsiran Ibnu Abbas. Akan tetapi penulis hanya menemukan dua jalur periwayatan yang diungkapkan
pengarang yang dinisbahkan kepada Ibnu Abbas.
Sedangkan untuk surat-surat yang lain, pengarang hanya menyebutkan kalimat Wabi isnadihi
an ibni Abbas. Artinya sanad yang diambil sama dengan sanad yang ada dalam surat al Fatihan atau surat al Baqarah. Surat yang disebutkan
sanadnya secara lengkap adalah: Pertama, ketika pengarang kitab menafsirkan
surat al
Fatihah. Dalam
menafsirkan surat
tersebut, al-Fairuzzabadi menyebutkan riwayat
dengan lengkap, yaitu dari jalur
Abdullah
ats Tsiqah bin al Ma’mun
al Harwi dari
ayahnya, dari Abu Abdullah dari Abu Ubaidillah Mahmud bin Muhammad al Razi dari
Ammar bin Abdul Majid al Harwi dari Ishaq as Samarqandi, bin Marwan dari al Kalbi dari Abu Shaleh dari Ibnu Abbas. Sedangkan dalam menafsirkan surat al-Baqarah,
penulis menyebutkan jalur periwayatan
dari Abdullah bin al Mubarak dari
Ali
bin Ishaq as Samarqandi dari Muhammad
bin Marwan
dari al Kalbi dari Abu Sholeh dari Ibnu Abbas. Selanjutnya penulis tidak lagi menemukan jalur periwayatan lainnya dalam menafsirkan surat-surat berikutnya. Oleh sebab itu, apabila berpatokan kepada pendapat
adz Dzahabi dan Imam Syafi’I di atas, maka semua penafsiran tersebut bukanlah murni
pemikiran Ibnu Abbas secara utuh. Apalagi pengarang tidak mencantumkan berbagai jalur periwayatan yang merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan dari upaya untuk menggali dan mengumpulkan berbagai periwayatan tafsir dari Ibnu Abbas.
Dengan demikian meskipun pengarang tafsir ini menggiring pembaca ke arah
penafsiran Ibnu Abbas, akan tetapi dengan tidak menampilkan berbagai bentuk
periwayatan dengan jelas, maka akan menimbulkan pertanyaan, apakah semuanya adalah
penafsiran
Ibnu Abbas, atau penafsiran pengarang sendiri dengan mengusung nama Ibnu
Abbas dalam karangannya.
D. Contoh Penafsiran Ibnu ‘Abbas
1. QS.
Al-Kautsar: 2:
Èe@|Ásù y7În/tÏ9 öptùU$#ur ÇËÈ
Maka Dirikanlah shalat Karena Tuhanmu; dan berkorbanlah.
فصل لربك :
الصلاة المكتوبة
وانحر : النسك
والذبح يوم الأضحى[7]
2. QS.
Al-Kautsar: 3:
cÎ) t¥ÏR$x© uqèd çtIö/F{$# ÇÌÈ
Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu dialah yang terputus.
3.
QS.
Al-Baqarah: 19:
÷rr& 5=Íh|Áx. z`ÏiB Ïä!$yJ¡¡9$# ÏmÏù ×M»uKè=àß Óôãuur ×-öt/ur tbqè=yèøgs ÷LàiyèÎ6»|¹r& þÎû NÍkÍX#s#uä z`ÏiB È,Ïãºuq¢Á9$# uxtn ÏNöqyJø9$# 4 ª!$#ur 8ÝÏtèC tûïÌÏÿ»s3ø9$$Î/ ÇÊÒÈ
Atau seperti
(orang-orang yang ditimpa) hujan lebat dari langit disertai gelap gulita, guruh
dan kilat; mereka menyumbat telinganya dengan anak jarinya, Karena (mendengar suara)
petir,sebab takut akan mati. Dan Allah meliputi orang-orang yang kafir.
BAB III
PENUTUP DAN KESIMPULAN
Dari beberapa paparan yang relative
singkat di atas, kiranya sudah ada sedikit kejelasan mengenai tafsir, penafsiran,
corak, metode yang digunakan oleh Ibnu ‘Abbas. Disebutkan pula mengenai
biografi singkatnya. Ini diharapkan untuk mendapatkan analisis yang lebih tajam
terkait kira-kira apa yang mempengaruhinya. Tentunya juga dilengkapi dengna
paparan mengenai setting sejarah kehidupannya pada masa itu.
Terlepas dari segala persoalan banyaknya
jalur-jalur riwayat yang bermasalah, yang disandarkan kepada beliau, yang
pasti, beliau diakui telah mengajarkan satu hal yang sangat penting, yaitu
tafsir al-Quran, baik yang ma’tsur, maupun ra’yu. Sebagaimana
yang dirasakan oleh generasi berikutnya, bahkan samapi hari ini.
[1] QS.
Al-Syura [42]: 7. Lihat juga QS. Yusuf [12]: 2, QS. Al-Ra’du [13]: 37, QS.
Thaha [20]: 113, QS. Al-Zumar [39]: 28, QS. Fushshilat [41]: 2, QS. Al-Zukhruf
[43]: 3, QS. Al-Ahaf [46]: 12, QS. Al-Nahlu [16]: 103, QS. Al-Syu’ara [26]:
195.
[2]
Lihat QS. Al-Nahl [16]: 44 dan 64.
[3]
Dikutip dari makalah Muhammad Barir
(10530072), “Tafsir Ibnu ‘Abbas”
(Makalah idak diterbitkan, 2011), hlm. 1-4. Lihat juga Mana’ Kholil
Al-Qotton, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an (Jakarta: Halim Jaya. 2002). Hlm.
414. Muhammad Husain ad-Dhahabi, Tafsir wa al-Mufassirun, Juz I (Kairo:
Darul Hadis, 2005), Hlm. 61; Ali bin Abi Tholhah, Tafsir Ibn Abbas, Terj.
Muhyiddin Mas Rida dkk. (Jakarta: Pustaka Azam, 2009), Hlm. Vii; dan Khairunnas
Jamal, “Abdullah Ibnu Abbas Dan “Pengaruh Pemikirannya dalam Perkembangan
Penafsiran Al Qur’an” dalam artikel yang diunduh di http//:fush.uin-suka.ac.id.
diakses tanggal 8 April 2012. Hlm. 4-5.
[4]
Lihat ‘Ali al-Shabuni, al-Tibyan (Jakarta: Dar al-Kutub al-Islamiyah,
2003), hlm. 74
[5] Khairunnas Jamal, “Abdullah Ibnu Abbas Dan “Pengaruh Pemikirannya
dalam Perkembangan Penafsiran Al Qur’an” dalam artikel yang diunduh di
http//:fush.uin-suka.ac.id. diakses tanggal 8 April 2012. Hlm. 6-9
[6]
Lihat ‘Abd al-‘Aziz, Tafsir Ibnu ‘Abbas (Saudi ‘Arabia: Ummul Qura,
t.t.), I, hlm. 27-30