BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Rasulullah Saw. adalah seorang Nabi yang ummi,
yakni tak bisa baca-tulis. Sehingga sangat mengherankan apabila al-Quran
dituduh sebagai karangannya. Banyak studi yang kemudian dilakukan untuk
membuktikan semua itu, dan berakhir dengan kesimpulan: mustahil manusia mampu
membuat al-Quran dengan segala aspeknya yang sempurna, mulai dari tutur
bahasanya yang begitu memukau, berita tentang maasa depan, atau bahkan mengenai
dunia medis dan sain, yang bisa dibuktikan kebenarannya dengan peralatan
canggih metakhir.
Tidak cuma al-Quran yang menarik diteliti
mengenai informasinya yang tidak kalah penting. Bahkan sunnah Rasulullah Saw.
pun demikian adanya. Maklum, al-Quran dan sunnah tidak jarang berbicara tema
yang sama, jadi pastinya akan memberikan stimulasi ketertarikan yang sama pula
untuk diteliti.
Pada
bagian ini penulis tertarik untuk mengkaji salah satu hadits Nabi Saw. yang
membahas mengenai fase-fase penciptaan manusia dalam rahim ibunya. Antara
pertimbangannya, pertama: hadits adalah sesuatu yang tidak mutlak harus
diterima, mengingat perlunya diteliti ulang mengenai sanad yang ada. Kedua:
kajian tentang embriologi dalam hadits – menururt penulis – relatif lebih sedikit daripada
kajian embriologi dalam al-Quran. Ini dibuktikan dengan banyaknya ayat yang
memabahas tentang penciptaan manusia, meskipun dengan redaksi yang tidak persis
sama; sementara mengani hal ini dalam hadits Nabi Saw. terbilang sangat
terbatas.
Namun,
meskipun ini lebih spesifik membahas embriologi dalam hadits Nabi Saw. bukan
berarti tidak akan menyinggung informasi yang dikemukakan oleh al-Quran. Karena
bagaiamanapun dua hal ini merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan.
Meskipun – sekali lagi – kajiannya labih difokuskan pada hadits Nabi Saw. Mulai
dari redaksi haditsnya, kajiannya mufradat, kritik sanad, dan
lain-lain. Jadi, ayat al-Quran lebih difungsikan sebagai info tambahan.
Dan,
yang tidak kalah penting mengenai istilah embriologi yang penulis sebutkan di
atas (dan yang akan menjadi pembahasan selanjutnya), secara sederhana
dimaksdukan secara khusus mengenai fase-fase penciptaan manusia dalam rahim
ibu.
B.
Rumusan Masalah
Untuk lebih
jelasnya akan penulis petakan pada rumusan masalah berikut:
1.
Bagaimana hadits Rasulullah Saw. mengenai fase-fase
penciptaan manusia dalam rahim ibu, secara lengkap dengan redaksinya, kritik
sanad, kajian mufradat, dan takhrijnya?;
2.
Bagaimana penjelasn hadits tersebut menurut perspektif
medis modern?
C.
Tujuan Penulisan
Berangkat dari dari rumusan masalah di atas,
maka tujuan penulisan makalah ini adalah:
1.
Ingin memaparkan hadits Rasulullah Saw. mengenai
fase-fase penciptaan manusia dalam rahim ibu, secara lengkap dengan redaksinya,
kritik sanad, kajian mufradat, dan takhrijnya;
2.
Ingin menjelaskan hadits tersebut menurut perspektif
medis modern.
D.
Manfaat Penulisan
1.
Alasan subyektif: Guna menyelesaikan tugas individu dari
matakuliah Hadits Kealaman;
2.
Alasan obyektif: Berguna untuk kajian selanjutnya, baik
sebagai pengamalan, maupun pengetahuan.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi
Embriologi
Kamus Besar Indonesia mendefinisikan embriologi sebagai berikut: Embrio: bakal
anak (di kandungan) hasil pembuahan sel telur pada stadium permulaan yang
kemudian menjadi janin, yang berumur antara satu minggu sampai delapan minggu
(pada manusia); embriologi: cabang ilmu biologi mengenai pembentukan,
pertumbuhan pada tingkat permulaan, dan perkembangan embrio.
Ada pula yang memberi pengertian
embriologi sebagai ilmu janin, karena adanya kesamaan antara keduanya.
Sebagaimana dikutib oleh Dr. M. Nu’aim Yasim dalam bukunya Fikih Kedokteran
dari al-Kindi.
Apabila disimpulkan, dapat dapat dikatakan bahwa Embriologi adalah ilmu yang membincangkan tentang
perkembangan janin manusia dari awal pembuahan hingga lahir menjadi seorang
anak. Walaupun ada yang mendefinisikan secara lebih umum, yang melibatkan hewan dan tumbuhan, akan
tetapi dalam pembahasan lebih difokuskan tentang embriologi manusia.[1]
B.
Urgensi
Mempelajari Embriologi
Ada beberapa alasan mengapa kita perlu belajar
embriologi, antara lain:
1.
Menambah kualitas keimanan kita;
2.
Mengikuti perintah agama agar kita mempelajari
embriologi;
3.
Pengetahuan tentang janin menjadi sarana paling efektif
untuk menguatkan keyakinan akan hari kebangkitan dan perhitungan amal;
4.
Mencintai al-Quran dan Sunnah;
5.
Sesuai dengan kebutuhan zaman.[2]
C.
Redaksi Hadits
Untuk mempermudah kajian ini, penulis
membatasi hadits cuma pada kutub tis’ah saja, atau sembilan kitab induk
yang ada.[3]
Dan, sejauh analisis penulis, terhadap
beberapa kitab induk tersebut, ditemukan
hadits Nabi yang secara gamblang membahas embriologi, sebagai berikut:
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي
شَيْبَةَ، حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ، وَوَكِيعٌ. ح وحَدَّثَنَا وَاللَّفْظُ
لَهُ، مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ نُمَيْرٍ الْهَمْدَانِيُّ، حَدَّثَنَا
أَبِي وَأَبُو مُعَاوِيَةَ، وَوَكِيعٌ، قَالُوا: حَدَّثَنَا الْأَعْمَشُ، عَنْ
زَيْدِ بْنِ وَهْبٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ، قَالَ: حَدَّثَنَا رَسُولُ اللَّهِ
وَهُوَ الصَّادِقُ الْمَصْدُوقُ: " إِنَّ أَحَدَكُمْ يُجْمَعُ خَلْقُهُ فِي
بَطْنِ أُمِّهِ أَرْبَعِينَ يَوْمًا، ثُمَّ يَكُونُ فِي ذَلِكَ عَلَقَةً مِثْلَ
ذَلِكَ، ثُمَّ يَكُونُ فِي ذَلِكَ مُضْغَةً مِثْلَ ذَلِكَ، ثُمَّ يُرْسَلُ
الْمَلَكُ فَيَنْفُخُ فِيهِ الرُّوحَ....
Menceritakan
kepada kami Abu Bakar bin Abi Syaibah, menceritakan kepada kami Abu Mu’awiyah
dan Waki’; dan juga menceritakan kepada kami Muhammad bin ‘Abdillah bin Numair
al-Hamdani, menceritakan kepada kami ayahku, Abu Mu’awiyah, dan Waki’; semuanya
berkata: Menceritakan kepada kami al-A’masy, dari Zaid bin Wahb, dari ‘Abdillah.
Dia berkata: Menceritakan kepada kami Rasulullah, beliau adalah al-Shadiq
al-Mashduq (orang yang benar lagi dibenarkan perkataannya), beliau
bersabda,"Sesungguhnya seorang dari kalian dikumpulkan penciptaannya dalam
perut ibunya selama 40 hari dalam bentuk nuthfah (bersatunya sperma
dengan ovum), kemudian menjadi ‘alaqah (segumpal darah) seperti itu
pula. Kemudian
menjadi mudlghah (segumpal daging) seperti itu pula. Kemudian seorang
Malaikat diutus kepadanya untuk meniupkan ruh di dalamnya...”[4]
D.
Takhrij dan kualitas Hadits
Dalam kutub tis’ah, mengenai
sanad hadits di atas dapat ditakhrij sebagai berikut:
1.
HR. Muslim, dalam kitab al-Qadr,
bab kaifiyah khalq al-Adami fi Bathni Ummih, nomor hadits 2643; [5]
2.
HR. Bukhari, dalam kitab bad’ al-Khalq, nomor
hadits 2969; kitab ahadits al-Anbiya’, nomor hadits 3085; dan kitab al-Qadr,
nomor hadits 6105; juga kitab al-Tauhid, nomor hadtis 6900;
3.
HR. Tirmidzi, kitab al-Qadr, nomor hadits 4781;
4.
HR. Abu Dawud, dalam kitab al-Sunnah, nomor hadits
4085;
5.
HR. Ibnu Majah, dalam kitab al-Muqaddimah, nomor
hadits 73; dan,
6.
HR. Ahmad, dengan nomor hadits 3787, 3441, dan 4129.[6]
Mengenai
kualitas dari hadits tersebut, dinilai shahih, atau bisa dijadikan patokan,
karena sudah diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, yang secara umum kitab Shahih
dari keduanya dinilai sebagai kitab ter-shahih setelah al-Quran.
Dan, dengan penegasan tentang ke-shahih-annya disampaikan oleh Tirmidzi
dalam al-Jami’-nya.[7]
E. Kajian Mufradat
1.
الصادق: الصادق في قوله (yang benar perkataannya/sabdanya);
2.
المصدوق : فيما يأتيه من الوحي الكريم (sesuatu
yang diwahyukan kepada beliau dibenarkan);
F. Penjelasan
Hadits dan Relevansinya dengan Dunia Medis Modern
Hingga abad ke-18, banyak orang mempercayai
bahwa tubuh manusia tercipta sepenuhnya dari darah haid. Setelah ditemukan
adanya sel telur (ovum) perempuan, mereka berpendapat bahwa manusia sepenuhnya
tercipta di dalam sel telur, layknya anak ayam yang tercipta dari telur.
Setelah ditemukannya spermatozoa, mereka berpendapat lain lagi, bagi mereka
janin sepenuhnya tercipta di kepala spermatozoa, meskipun ia sangat kecil.
Perbedaan
pendapat tersebut baru berakhir pada akhir abad ke-18. Yaitu setelah terungkap
peran masing-masing dari spermatozoa dan sel telur untuk pembuahan dan
tumbuhnya embrio. Pada abad ke1-19, hal ini disepakati secara aklamatif.
Pada
abad ke-20 para pakar embriologi berhasil membuktikan bahwa diantara jutaan
sperma laki-laki hanya satu saja mencapai dinding rahim. Dari proses inilah
kemudian terjadi pembuahan.[8]
Hadits
di atas memberikan pemahaman, bahwa ada tiga fase pertama dalam proses
penciptaan manusia. Yaitu: sperma (nuthfah), gumpalan darah (‘alaqah),
dan gumpalan daging (mudlghah). Tiga fase pertama ini dikuatkan kemudian
oleh penelitian ilmiah dalam bidang embriologi.[9]
Kata nuthfah, kaitannya dengan
hadits ini adalah telur yang sudah dibuahi, yang merupakan pertemuan antara ‘cairan’
lelaki dan perempuan. Nuthfah ini kemudain berkembang dengan cara cepat
membelah diri, hingga membentuk gumpalan bulat sel-sel yang disebut dengan murola.
Ini terjadi empat hari setelah proses pembuahan.
Dilanjutkan
dengan berbagai proses selanjutnya, hingga sampai pada hari ke-lima belas,
muncullah pita pertama yang tertanam ke dinding rahim, dan berbentuk sama
persis dengan lintah. Dari proses inilah kemudian mengenal istilah ‘alaqah.
Dari aktifitas ini pula ia menyerap makanan dari sang ibu, layaknya lintah yang
menyerap makanan dari hewan yang ditempelinya.
Janin
mencapai akhir fase ‘alaqah pada hari ke-duapuluh empat hingga
keduapuluh lima sejak pembuahan. Dua hari kemudian (hari ke duapuluh enam), ‘alaqah
berubah menjadi mudlghah. Fase ini ditandai dengan mulai tampkanya
bagian-bagian tubuh, yang dimulai dengan satu dan terus bertambah menjadi
kurang lebih 40-45 anggota tubuh. Semua proses ini berlangsung mulai dari hari
ke-26 hingga hari ke-40.Fase ini terus berlangsung sampai mendekati
akhir minggu ke-6 dari kehamilan, dan fase ini berakhir pada sentimeter pertama
(sekitar 3,2 mm. Hingga sampai 13 mm).
Proses
pembentukan organ tubuh dimulai sejak akhir fase mudlghah. Yakni pada
akhir minggu ke-6 sejak kehamilan, atau setelah 42 malam. Dengan ini semua
terbuktilah kebenaran sabda Rasulullah, termasuk yang berkaitan dengan
emnbriologi ini.
Intinya,
fase nuthfah, ‘alaqah, sampai mudlghah, -sebagaimana diceritakan
oleh Rasulullah Saw. berlangsung sekitar 6 Minggu atau 40 hari. Sinyalemen ini
dipertegas dan dikuatkan oleh hasil penelitian mutakhir dalam disiplin
embriologi.[10]
BAB III
PENUTUP
Sebagai kesimpulan akhir dari penjelasan yang
relatif singkat di atas, dapat disederhanakan menjadi: Bahwa hadits tentang
embriologi –sebagaimana sudah dijelaskna, selain dari sisi sanad tidak ada yang
bermasalah, dari sisi matannya pun bisa dibuktikan secara ilmiah dan menurut
penelitian mutakhir. Ini pula mengindikasikan bahwa sunnah bisa dibuktikan
kebenarannya melalui sains. Tidak ada pertentangan.
Meskipun,
untuk masalah embriologi ini, paparan yang ada di dalam hadits Nabi tidak
selengkap penjelasan al-Quran. Al-Quran misalnya menyebutkan fase lanjutan dari
tiga fase di atas:
¢OèO $uZø)n=yz spxÿôÜZ9$# Zps)n=tæ $uZø)n=ysù sps)n=yèø9$# ZptóôÒãB $uZø)n=ysù sptóôÒßJø9$# $VJ»sàÏã $tRöq|¡s3sù zO»sàÏèø9$# $VJøtm: ¢OèO çm»tRù't±Sr& $¸)ù=yz tyz#uä 4 x8u$t7tFsù ª!$# ß`|¡ômr& tûüÉ)Î=»sø:$# ÇÊÍÈ
Kemudian air mani itu kami jadikan segumpal
darah, lalu segumpal darah itu kami jadikan segumpal daging, dan segumpal
daging itu kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu kami bungkus
dengan daging. Kemudian kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka
Maha sucilah Allah, Pencipta yang paling baik. QS. Al-Mu’minun: 14.
Demikian,
kenyataan ini –sekali lagi sebagai salah satu bukti kebenaran risalah
Rasulullah Saw. Dan, tidak ada persoalan meskipun redaksi yang termuat di dalam
al-Quran lebih lengkap daripada yang terkandung dalam sunnah yang shahih.
Bagaimana pun juga satu sama lain memang salah satu fungsinya sebagai penjelas.
Allah yang Mahatahu.
DAFTAR PUSTAKA
Mohd
Faizal bin Hussin, “'Embriologi' Bagaimana Al-Quran
Berbicara” dalam http://nukilansiswa.blogspot.com/2010/05/embriologi-bagaimana-al-quran-berbicara.html, diakses pada 27-02-2013, pukul: 5.56
Thalbah, Hisyam dkk., Kemukjizatan Pneciptaan Manusia: Embriologi dalam
al-Quran, ed. dan terj. Syarif H. M. Sapta Sentosa, cet. III, 2009.
bin Hajjaj, Muslim. al-Musnad al-Shahih, tahqiq; Muhammad Fu’ad ‘Abd
al-Baqi. Beirut: Dar al-Turats al-‘Arabi, t.t.
al-Najjar, Zaghlul. Pembuktian Sains dalam Sunnah, terj. Zainal ‘Abidin dan Syakirun Ni’am. Jakarta:
Amzah, 2006.
al-Tirmidzi, Abu ‘Isa. al-Jami’ al-Shahih, tahqiq: Ibrahim ‘A. Mesir:
Mushthafa al-Babi, cet. II, 1975.
Lampiran Gambar Penjelasan:
1.
Ovum dan Sperma:
2.
‘Alaqah:
3.
Mudlghah:
4.
Minggu ke5, Dua Mata, tangan dan
kaki mulai nampak:
5.
Minggu ke6-7, tali pusat
semakin jelas dan semakin jelas sebagai seorng manusia:
6.
Minggu ke-8, muka lebih jelas walaupun berat tidak melebihi
4 gram:
7.
Minggu ke9 - 10, Kelopak mata janin
mula tumbuh tetapi masih dalam keadaan tertutup:
8. Minggu ke12-13 tangan janin nampak lebih
sempurna, Minggu ke14 muladapat mendengar denyutan jantung:
9. Bulan ke6 tali pusat memegan peranan
sebagai paru-paru, ginjal dan alat pencernaan. Bayi memasukkan tangan adalah
latihan menyusu setelah lahir:
10. Bulan ke-7, ia terbungkus selapuk
amniotik dan telah sempurna. Selapuk amniotik melindungan dari pergantian suhu
dan serangan mikrob:
Diambil dari berbagai sumber.
Kebenarannya Allah yang Tahu. Ini hanya proses belajar. Tidak lebih. Untuk
membuktikannya, silahkan teliti dan kaji sendiri.
[1] Mohd Faizal bin Hussin, “'Embriologi' Bagaimana Al-Quran
Berbicara” dalam http://nukilansiswa.blogspot.com/2010/05/embriologi-bagaimana-al-quran-berbicara.html, diakses pada 27-02-2013, pukul: 5.56
[2] Disarikan dari Prof. Dr. Hisyam Thalbah dkk., Kemukjizatan Pneciptaan
Manusia: Embriologi dalam al-Quran, ed. dan terj. Syarif H. M. (Sapta
Sentosa, cet. III, 2009), hlm. 1-4
[3] Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu Dawud, Sunan Nasa’i, Sunan Ibnu Majah, Musnad
Ahmad, Sunan Darimi, Muwaththa’ Malik, dan Sunan Tirmidzi.
[4] Muslim bin Hajjaj, al-Musnad al-Shahih, tahqiq; Muhammad Fu’ad ‘Abd
al-Baqi (Beirut: Dar al-Turats al-‘Arabi, t.t.), IV, hlm. 2036, nomor hadits
2643.
[5] Muslim bin Hajjaj, al-Musnad al-Shahih, tahqiq; Muhammad Fu’ad ‘Abd
al-Baqi, IV, hlm. 2036, nomor hadits 2643.
[6] Dikutip secara lengkap dari Dr. Zaghlul al-Najjar, dalam bukunya, Pembuktian
Sains dalam Sunnah, terj. Zainal
‘Abidin dan Syakirun Ni’am (Jakarta: Amzah, 2006), hlm. 11-13
[7] Abu ‘Isa al-Tirmidzi, al-Jami’ al-Shahih,
tahqiq: Ibrahim ‘A. (Mesir: Mushthafa al-Babi, cet. II, 1975), IV, hlm. 446
[8] Dr. Zaghlul al-Najjar, dalam bukunya, Pembuktian
Sains dalam Sunnah, terj. Zainal
‘Abidin dan Syakirun Ni’am, I, hlm. 246-247
[9] Dr. Zaghlul al-Najjar, dalam bukunya, Pembuktian
Sains dalam Sunnah, terj. Zainal
‘Abidin dan Syakirun Ni’am, II, hlm. 13
[10] Dr. Zaghlul al-Najjar, dalam bukunya, Pembuktian
Sains dalam Sunnah, terj. Zainal
‘Abidin dan Syakirun Ni’am, II, hlm. 13-19 (dikutip secara ringkas dan sedikit
editan, tanpa mengurangi esensi dari yang dipaparkan oleh penulis buku
tersebut).
0 comments:
Posting Komentar