Engkau tak perlu tahu, bahan dasar dari Blog sederhana ini adalah cinta yang sedang menyala...

Tafsir Ibnu 'Abbas *)


BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang Masalah
            Secara khusus, Al-Quran diturunkan di tanah Arab, di tengah-tengah komunitas dan masyarakat dengan bahasa Arab, dan yang paling penting juga adalah ia dengan menggunakan bahasa Arab. Kaitannya dengan hal ini, secara tegas Allah berfirman:
y7Ï9ºxx.ur !$uZøŠym÷rr& y7øs9Î) $ºR#uäöè% $|Î/ttã uÉYçGÏj9 ¨Pé& 3tà)ø9$# ô`tBur $olm;öqym uÉZè?ur tPöqtƒ ÆìôJpgø:$# Ÿw |=÷ƒu ÏmŠÏù 4 ×,ƒÌsù Îû Ïp¨Ypgø:$# ×,ƒÌsùur Îû ÎŽÏè¡¡9$# ÇÐÈ
Dan demikianlah Kami Wahyukan al-Quran kepadamu dalam bahasa Arab, agar engkau memberi peringatan kepada penduduk ibu kota (Mekah) dan penduduk (negeri-negeri) di sekelilingnya serta memberi peringatan tentang hari berkumpul (Kiamat) yang tidak diragukan adanya. Segolongan masuk surga dan segolongan masuk neraka.[1]
            Namun, meskipun begitu, ada beberapa bahasa al-Quran yang tidak bisa dipahami secara mudah oleh mereka. Dan, sebagai rujukan utama, mereka bertanya kepada Rasulullah Saw. lalu beliau pun menjelasakan. Hal ini tentu saja merupakan kemestian, mengingat posisi beliau sebagai rasul dan penerjemah wahyu Tuhan.[2]
            Seiring berjalannya waktu, Rasulullah Saw. pastinya tidak mungkin selamanya bersama para sahabat. Ada keterputusan risalah kenabian dan kerasulan, yang ditandai dengan wafatnya beliau. Selanjutnya misi menyampaikan pesan al-Quran diperankan oleh para sahabat beliau RA. Sebuah kenyataan yang memang tidak bisa ditolak, karena memang mereka yang belajar langsung dari beliau. Ditambah lagi dengan fakta tersebarnya Islam yang semakin meluas ke berbagai negeri, yang mengakibaatkan kebutuhan tentang penafsiran al-Quran sudah merupakan keniscayaan.
            Di kalangan sahabat Nabi Saw. dikenal banyak ahli tafsir al-Quran, antara lain para khalifah yang empat: Abu Bakar, ‘Umar, Utsman, dan ‘Ali, Ibnu ‘abbas, dan lain-lain. Dan, yang dikenal paling banyak riwayatnya dalam bidang ini dari beberapa tokoh yang disebutkan di atas adalah Ibnu ‘Abbas.
            Inilah salah satu sisi menarik yang melatarbelakangi penulisan makalah ini. Dikatakan salah satunya, karena bagaimanapun hal ini juga ada kaitan dengan tugas yang sedang diamanatkan kepada kelompok kami.
            Untuk mendapatkan sedikit gambaran mengenai Ibnu ‘Abbas; tafsir; metode, corak, dan hal-hal lain yang berhubungan, maka penulis hanya membahas beberapa hal saja, seperti yang akan dipaprkan pada bab selanjutnya.


BAB II
PEMBAHASAN
A. Biografi Ibnu ‘Abbas[3]
Dalam sejarah penafsiran dikenal tokoh ulama’ ahli tafsir pertama yakni ialah Habrul Ummah Ibnu Abbas R.A. beliau merupakan sepupu rosulullah jika dilihat dari namanya pun sudah dapat diketahui secara jelas yakni Abdullah bin Abbas bin Abdul Mutholib bin Hasyim bin Abdi Manaf al-Quraisyi al-Hasyimi sedangkan Ibunya bernama Umul Fadl Lubanah bint al-Harits al-Hilaliyah. Kedekatanya dengan Rasulullah mewarnai perjalanan tafsir Ibnu Abbas.
Ibnu Abbas lahir di Syi’b dan mengenai waktu lahir Ibnu Abbas, telah terjadi perbedaan  dikalangan ulama, menurut Husain ad-Dhahabi dalam Tafsir wa al-Mufassirun ibnu Abbas berusia 13 tahun ketika Rasulullah wafat (633 M) itu artinya ia lahir sekitar tahun (620 M) yang bertepatan dengan tahun pertama Hijriyah dan juga bertepatan dengan peristiwa pembaikotan kaum Quroisy kepada kaum Hasyim, namun menurut Mana’ al-Khattan ada dua pendapat, yakni Ibnu Abbas lahir 3 tahun sebelum Hijriyah dan menurut sebagian lainya Ibnu Abbas lahir 5 tahun sebelum Hijriyah. Dan pendapat yang lebih di pegang oleh Mana’ al-Khattan ialah tahun 3 sebelum Hijriyah.
Ibnu Abbas merupakan ulama yang tidak diragukan lagi tentang kapabilitasnya sebagai seorang yang mendalami berbagai ilmu yang dibutuhkan dalam penafsiran, ia merupakan orang yang bahkan dikatakan mampu melakukan loncatan penafsiran kedalam tafsir yang bernuansa isy’ari dengan alasan inilah Ali bin Abi Thalhah (w. 143 H)—salah satu orang yang mengumpulkan berbagai riwayat penafsiran Ibnu Abbas—menjuluki Ibn Abbas dengan orang yang bisa melihat hal ghoib secara jelas dibalik tabir. Selain itu banyak lagi julukan yang disandang oleh Ibnu Abbas seperti Habrul (Pemuka, sang tokoh), bahrul (lautan) dan masih banyak lagi julukan yang ia sandang seperti turjuman al-Qur’an yang mendeskripsikan tentang keluasan ilmu dan perangainya bahkan ia dikatakan sebagai juru tafsir paling baik oleh Baihaqi dalam kitabnya ad-Dala’il yang meriwayatkan dari Ibn Mas’ud.
Ibn Abbas bahkan telah melampaui usianya dalam ukuran pengetahuan dan wawasan, ia sangat dihargai dan dipercayai oleh Umar entah karena apa alasanya namun Ketika masa Umar Ibn Khottob dimana pada masa itu sering terjadi diskusi antara Shohabat dan pemuka umat, suatu ketika Umar Ibn Khottob mengajak serta Ibnu Abbasdalam perkumpulan pemuka umat yang kesemuanya merupakan sesepuh yang ahli ilmu, detika Ibnu Abbas yang saat itu masih berusia muda berada di tengah-tengah tokoh-tokoh yang berpengaruh, ternyata ada suatu pertanyaan melayang pada Umar tentang mengapa ia mengajak seorang anak yang dianggap ingusan. Dengan tenang, Umar mencoba menguraikan kesanya terhadap anak yang ia ajak serta ke pertemuan itu, ia mengemukakan suatu ayat dan mempersilahkan para pemuka yang hadir kedalam pertemuan itu untuk menafsirkanya, setelah usai ditafsiri, Umar menganggap penafsiran yang kemukakan leh para ulama itu belum memuaskan hatinya dan pada akhirnya uraian-demi uraian kata Ibnu Abbas keluar untuk mencoba menafsiri ayat-ayat tersebut dan puaslah Umar atasnya.
Ada kisah menarik lain dari Ibnu Abbas yang sekaligus bisa jadi merupakan jawaban dari mengapa seorang Ibnu Abbas yang semenjak usia muda bahkan telah mempu melampaui pemuka ulama di zamanya. Suatu ketika Nabi pernah merangkul dan mendo’akanya, “ya Allah ajarkanlah kepadanya Hikmah” dalam Mu’jam Baghawi dan lainya diriwayatkan bahwa Umar R.A. prnah mendekati Ibnu Abbas dan berkata “Sungguh saya pernah melihat Rosulullah pernah mendo’akanmu, lalu membelai kepalamu dan meludahi mulutmu dan berdo’a “ya Allah berilah ia pemahaman dalam urusan agama dan ajarkanlah ia ta’wil.”
Ibnu Abbas besar dalam lingkungan rumah tangga kenabian, di mana beliau selalu hadir bersama Rasulullah sejak kecil. Beliau selalu mendengar banyak hal dari Rasul, dan menyaksikan kejadian serta berbagai peristiwa yang menyebabkan turunnya ayat-ayat al Qur’an. Bahkan beliau pernah dua kali menyaksikan Malaikat Jibril bersama dengan Nabi.
Salah satu keistimewaan beliau yang merupakan salah satu bangunan penafsiranya ialah Interaksi beliau dengan para sahabat senior sesudah wafatnya Rasulullah. Dari sahabat-sahabat senior tersebut, Ibnu Abbas belajar berbagai hal yang berkaitan dengan al Qur’an seperti tempat-tempat turunnya al Qur’an, sebab-sebab turunnya ayat dan lain sebagainya. Upaya untuk belajar dan bertanya tersebut diungkapkan oleh Ibnu Abbas sendiri : “Aku banyak mendapatkan hadits Rasul dari kalangan Anshar. Bila aku ingin mendatangi salah satu di antara mereka, maka aku akan mendatanginya. Boleh jadi aku akan menunggunya hingga ia bangun tidur kemudian aku bertanya tentang hadist tersebut kemudian pergi.
Pengetahuan beliau yang sangat luas tentang bahasa Arab terutama kaitannya dengan uslub-uslubnya dan puisi-puisi Arab kuno yang amat berguna untuk mendukung pemahaman beliau terhadap al Qur’an.
Kecerdasan otak yang merupakan anugerah Allah yang membuat Ibnu Abbasma mpu untuk berijtihad dan berani menerangkan berbagai hal yang beliau anggap benar dalam penafsiran al Qur’an.
Mana’ al-Khattan dalam kitabnya memasukan penafsiran Ibnu Abbas sebagai Tafsir yang landasanya ialah bil ma’tsur yang artinya ialah dalam menafsiri, Ibnu Abbas berpedoman pada landasan nash, namun perlu diingat ketika kita membaca tafsir Ibnu Abbas ini akan banyak ditemukan suatu penafsiran yang lebih bercorak isy’ari dan hal ini diperkuat dengan kisahnya ketika duduk bersama pemuka umat pada masa Umar dalam menafsiri surat al-Nashr selain itu juga dengan melihat do’a rosul yang disitu rosul mendo’akan Ibnu Abbas agar diajarkan oleh Allah suatu Ta’wil menunjukan bahwa tafsir ini diwarnai pula oleh landasan isy’ary. Mencoba mencari kejelasan mengenai hal ini, bahwa pernyataan Imam Mana’ al-Khattan tidaklah salah jika ia menganggap Isy’ari merupakan cakupan dari bi al-Ra’yi, selain itu, sebagai alasan lain juga tidaklah salah jika ia menganggap dalam tafsir Ibnu Abbas lebih didominasi oleh ke-ma’tsur-an. 
Pada era kontemporer, setelah banyak dilakukan penelitian, Prof Ignaz Goldziher menyatakan dalam kitabnya Madzahib al-Islamiyah fi Tafsir al-Qur’an menyatakan bahwa Ibnu Abbas dengan tanpa melakukan seleksi ketat, mengutip dengan sembarangan kisah ahli kitab, pendapat ini disepakati pula oleh Prof. Ahmad Amin dalam bukunya Fajr al-Islam. Namun keduanya dibantah oleh Prof. Muhammad Husain Adzahabi yang menjelaskan mengenai upaya yang dilakukan Ibnu Abbas dalam menggali informasi dari Ahl Kitab tidaklah berkenaan dengan penafsiran tentang ayat yang menjadi pokok ibadah, namun berkenaan dengan hal-hal lain dan yang dianggap telah valid nilai kebenaranya sehingga bokan secara babi buta.
Pada tahun 36 H. beliau ditunjuk oleh Khalifah Utsman bin Affan untuk menjadi Amirul Haj sebelum Usman terbunuh oleh kudeta yang terjadi sekitar (655 M). ia pernah menjadi Gubernur Bashrah dan menetap di sana sampai ali wafat, kemudian ia mengangkat Abdullah bin Haris sebagai penggantinya sebagai Gubernur Bashrah, sedang ia sendiri pulang ke Hijaz.
Ibnu Abbas menghembuskan nafas terakhir di Tha’if, namun mengenai waktu beliau wafat kembali terjadi perbedaan pendapat; diantaranya ialah 65, 67, dan 68 H. dan, pendapat terakhir inilah yang dipandang shahih oeh para ulama.
1.        Guru-guru Ibnu ‘Abbas
Diantara guru-guru Ibnu ‘Abbas adalah:
a.         Rasulullah Saw.;
b.         ‘Umar bin Khaththab;
c.         Ubai bin Ka’b;
d.        ‘Ali bin Abi Thalib; dan,
e.         Zaid bin Tsabit.
2.        Murid-murid Ibnu ‘Abbas
Banyak yang menjadi murid Ibnu ‘Abbas dari kalangan Tabi’in, antara lain yang paling terkenal adalah:
a.         Sa’id bin Jubair;
b.         Mujahid;
c.         Thawus bin Kaisan al-Yamani;
d.        ‘Ikrimah;
e.         ‘Atha.[4]

B.       Pengaruh Penafsiran Ibnu ‘Abbas
Bagi kelompok bi  al  matsur  (penafsiran memalui tradisi)  Ibnu  Abbas  telah memberikan panduan penafsiran al Quran terbaik, dengan membiarkan al Quran saling menjelaskan keterkaitan yang saling berhubungan antara satu ayat dengan ayat lainnya. Sebab penafsiran al Qur’an dengan al Quran sendirilah yang memiliki validitas kebenarannya yang paling kuat. Bila tidak ditemukan penjelasan tersebut dari al Quran, maka beliau merujuk kepada hadits Nabi yang sahih. Kedudukan hadits yang merupakan penjelas bagi al Quran juga diyakini sebagai salah satu alternatif untuk menyingkap makna-makna yang cukup  sulit untuk dipahami. Kedua cara yang ditempuh oleh Ibnu Abbas tersebut pada akhirnya menjadi standar baku  bagi kelompok penafsir al Quran bi al matsur untuk masa selanjutnya.
Kelompok mufassir bi al Rayi (Penafsiran melalui nalar)  juga  memperoleh inspirasi penafsiran dari metode yang telah digagas oleh Ibnu Abbas. Bagi Ibnu Abbas, bila keterangan sebuah makna ayat tidak ia temukan di dalam al Qur’an atau dari hadits nabi,  maka  beliau  berupaya untuk  merujuknya  kepada  sair-sair Arab  kuno  ataupun percakapan-percakapan Arab Badui yang memiliki tingkat kemurnian bahasa yang tinggi. Keluarnya Ibnu  dari lingkaran al  Quran dan  Hadits Nabi tersebut  adalah  sebuah keberanian dan merupakan ijtihad  dalam bentuk lain. Dan tentunya keberanian  untuk melakukan ijtihad bukanlah keberanian yang bersifat apriori, namun  dilandasai oleh niat dan keinginan yang  kuat  untuk  menyingkap makna-makna terdalam dari al  Qur’an. Seperti yang diceritakan sendiri oleh Ibnu Abbas, bahwa beliau tidak pernah tahu arti dari kata fathiru al samawaat sampai suatu ketika beliau mendengar dua orang Arab Badui  tengah  bertikai  masalah  sebuah sumur.  Salah seorang dari  Arab  Badui mengatakan : ana Fathortuha (aku yang membuatnya). Dengan adanya percakapan tersebut, barulah beliau mengetahui maksud dari kata : Fathara
Bahkan beliau tidak segan-segan untuk mencari sumber penafsiran dari kalangan ahli kitab yang telah memeluk agama Islam, baik dari kalangan Yahudi seperti Abdullah bin Salam maupun dari kalangan Nasrani seperti Ibnu Juraij. Namun sebagaimana yang dikatakan oleh   Husain adz Dzahabi, bahwa eksplanasi tersebut hanya berkaitan dengan pambahasan yang sangat terbatas  dan adanya kecocokan sejarah antara al Quran dan kitab-kitab samawi lainnya. Akan tetapi jika berseberangan dengan keterangan al Quran atau bahkan bertentangan dengan syariat Islam, menurut Adz Dzahabi, Ibnu Abbas tidak mempergunakan penafsiran ahli kitab.  Keberanian Ibnu Abbas untuk mencari sumber- sumber penafsiran dari selain al Quran  dan hadits nabi menjadi inspirasi penting bagi kalangan ahlu al rayi untuk juga memaksimalkan penggunaan akal fikiran sebagai salah satu alternatif penafsiran al Quran.[5]
C.            Ibnu ‘Abbas dan Tafsir Tanwirul Miqbas [6]
Meskipun pemikiran Ibnu Abbas yang berkaitan dengan tafsir lebih banyak dipahami melalui jalur periwayatan, akan tetapi para ulama mencoba untuk memadukan berbagai pemikiran Ibnu Abbas dalam menafsirkan ayat-ayat al Quran. Berbagai riwayat telah dikumpulkan sehingga menjadi sebuah kitab yang menghimpun pemikiran Ibnu Abbas dalam memahami al Quran, mulai dari surat al Fatihah sampai dengan surat al Naas. Kumpulan  penafsiran  tersebut  diberi  judul Tanwirul Miqbas min Tafsiri Ibni Abbas. Riwayat-riwayat yang berkaitan dengan penafsiran al Quran ini dikumpulkan oleh   Abi Thahir Muhammad bin Yaqub al Fairuzzabadi al-Syafii.
Menurut adz Zahabi, segala sesuatu  yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas dalam tafsir ini hanya melalui jalur periwayatan Muhammad bin Marwan as Suday al Shaghir dari Muhammad bin Saib al Kalbi dari Abu Shaleh dari Ibnu Abbas. Secara pribadi, adz Dzahabi meragukan seluruh riwayat yang ada dalam tafsir tersebut dinisbahkan kepada Ibnu Abbas, sebagaimana keraguan yang juga dialami oleh Imam Syafi’i. Menurut asy SyafiI, riwayat-riwayat yang berkaitan dengan Ibnu Abbas dalam masalah tafsir hanya berjumlah ratusan. Artinya   bila riwayat tersebut meliputi seluruh ayat al Qur’an yang berjumlah ribuan, maka ada sebagian yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.
Tafsir ini diterbitkan di Mesir dan cetakan lainnya berasal dari Beirut. Dari cetakan aslinya, kitab ini tidak memiliki  kata  pengantar,  sehingga  tidak  dapat  diselami  lebih  jauh   lagi  tentang keberadaan penulis kitab tersebut. Namun al Fairuzzabadi sendiri bukanlah orang yang tidak dikenal. Belaiu adalah pengarang kamus al Muhith yang terkenal dan ahli dalam bidang bahasa. Pola penafsiran yang ditampilkan dalam tafsir ini memiliki kesamaan dengan penafsiran yang  dilakukan oleh Imam  Jalaluddin As Suyuthi dalam Tafsir  al Jalalain. Dalam kitab tersebut, mufassir berupaya untuk menafsirkan dan menjelaskan kalimat per kalimat, sehingga makna setiap kalimat dapat dengan mudah dimengerti oleh pembaca. Hal ini dilakukan penulis mulai dari surat al Fatihah hingga surat al Baqarah.
Dilihat dari judul kitab tersebut, maka pembaca digiring kepada sebuah kesimpulan, bahwa penafsiran yang dilakukan di dalam kitab ini semuanya mengacu kepada penafsiran Ibnu Abbas. Akan tetapi penulis hanya menemukan dua jalur periwayatan yang diungkapkan  pengarang yang dinisbahkan kepada Ibnu Abbas. Sedangkan untuk surat-surat yang lain, pengarang hanya menyebutkan kalimat Wabi isnadihi an ibni Abbas. Artinya sanad yang diambil sama dengan sanad yang ada dalam surat al Fatihan atau surat al Baqarah. Surat yang disebutkan sanadnya secara lengkap adalah: Pertama, ketika pengarang kitab menafsirkan surat al Fatihah.  Dalam  menafsirkan  surat  tersebut,  al-Fairuzzabadi  menyebutkan  riwayat dengan  lengkap,  yaitu  dari  jalur  Abdullah  ats Tsiqah  bin  al  Mamun  al  Harwi dari ayahnya, dari Abu Abdullah dari Abu Ubaidillah Mahmud bin Muhammad al Razi dari Ammar bin Abdul Majid al Harwi dari Ishaq as Samarqandi, bin Marwan dari al Kalbi dari Abu Shaleh dari Ibnu Abbas. Sedangkan dalam menafsirkan surat al-Baqarah, penulis menyebutkan jalur periwayatan dari Abdullah bin al Mubarak dari Ali bin Ishaq as Samarqandi dari Muhammad bin Marwan dari al Kalbi dari Abu Sholeh dari Ibnu Abbas. Selanjutnya penulis tidak lagi menemukan jalur periwayatan lainnya dalam menafsirkan surat-surat berikutnya. Oleh sebab itu, apabila berpatokan kepada pendapat adz Dzahabi dan Imam SyafiI di atas, maka semua penafsiran tersebut bukanlah murni pemikiran Ibnu Abbas secara utuh. Apalagi pengarang tidak mencantumkan berbagai jalur periwayatan yang merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan dari upaya untuk menggali dan mengumpulkan berbagai periwayatan tafsir dari Ibnu Abbas.
Dengan demikian meskipun pengarang tafsir ini menggiring pembaca ke arah penafsiran Ibnu Abbas, akan tetapi dengan tidak menampilkan berbagai bentuk periwayatan dengan jelas, maka akan menimbulkan pertanyaan, apakah semuanya adalah penafsiran Ibnu Abbas, atau penafsiran pengarang sendiri dengan mengusung nama Ibnu Abbas dalam karangannya.
D.      Contoh Penafsiran Ibnu ‘Abbas
1.   QS. Al-Kautsar: 2:
Èe@|Ásù y7În/tÏ9 öptùU$#ur ÇËÈ
Maka Dirikanlah shalat Karena Tuhanmu; dan berkorbanlah.
فصل لربك : الصلاة المكتوبة
وانحر : النسك والذبح يوم الأضحى[7]
2.   QS. Al-Kautsar: 3:
žcÎ) št¥ÏR$x© uqèd çŽtIö/F{$# ÇÌÈ
Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu dialah yang terputus.
شانئك : عدوك[8]
3.    QS. Al-Baqarah: 19:
÷rr& 5=ÍhŠ|Áx. z`ÏiB Ïä!$yJ¡¡9$# ÏmŠÏù ×M»uKè=àß Óôãuur ×-öt/ur tbqè=yèøgs ÷LàiyèÎ6»|¹r& þÎû NÍkÍX#sŒ#uä z`ÏiB È,Ïãºuq¢Á9$# uxtn ÏNöqyJø9$# 4 ª!$#ur 8ÝŠÏtèC tûï̍Ïÿ»s3ø9$$Î/ ÇÊÒÈ
Atau seperti (orang-orang yang ditimpa) hujan lebat dari langit disertai gelap gulita, guruh dan kilat; mereka menyumbat telinganya dengan anak jarinya, Karena (mendengar suara) petir,sebab takut akan mati. Dan Allah meliputi orang-orang yang kafir.
كصيب من السماء : المطر[9]






BAB III
PENUTUP DAN KESIMPULAN
            Dari beberapa paparan yang relative singkat di atas, kiranya sudah ada sedikit kejelasan mengenai tafsir, penafsiran, corak, metode yang digunakan oleh Ibnu ‘Abbas. Disebutkan pula mengenai biografi singkatnya. Ini diharapkan untuk mendapatkan analisis yang lebih tajam terkait kira-kira apa yang mempengaruhinya. Tentunya juga dilengkapi dengna paparan mengenai setting sejarah kehidupannya pada masa itu.
            Terlepas dari segala persoalan banyaknya jalur-jalur riwayat yang bermasalah, yang disandarkan kepada beliau, yang pasti, beliau diakui telah mengajarkan satu hal yang sangat penting, yaitu tafsir al-Quran, baik yang ma’tsur, maupun ra’yu. Sebagaimana yang dirasakan oleh generasi berikutnya, bahkan samapi hari ini.




[1] QS. Al-Syura [42]: 7. Lihat juga QS. Yusuf [12]: 2, QS. Al-Ra’du [13]: 37, QS. Thaha [20]: 113, QS. Al-Zumar [39]: 28, QS. Fushshilat [41]: 2, QS. Al-Zukhruf [43]: 3, QS. Al-Ahaf [46]: 12, QS. Al-Nahlu [16]: 103, QS. Al-Syu’ara [26]: 195. 
[2] Lihat QS. Al-Nahl [16]: 44 dan 64.
[3] Dikutip dari makalah  Muhammad Barir (10530072), “Tafsir Ibnu ‘Abbas”  (Makalah idak diterbitkan, 2011), hlm. 1-4. Lihat juga Mana’ Kholil Al-Qotton, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an (Jakarta: Halim Jaya. 2002). Hlm. 414. Muhammad Husain ad-Dhahabi, Tafsir wa al-Mufassirun, Juz I (Kairo: Darul Hadis, 2005), Hlm. 61; Ali bin Abi Tholhah, Tafsir Ibn Abbas, Terj. Muhyiddin Mas Rida dkk. (Jakarta: Pustaka Azam, 2009), Hlm. Vii; dan Khairunnas Jamal, “Abdullah Ibnu Abbas Dan “Pengaruh Pemikirannya dalam Perkembangan Penafsiran Al Qur’an” dalam artikel yang diunduh di http//:fush.uin-suka.ac.id. diakses tanggal 8 April 2012. Hlm. 4-5.
[4] Lihat ‘Ali al-Shabuni, al-Tibyan (Jakarta: Dar al-Kutub al-Islamiyah, 2003), hlm. 74
[5] Khairunnas Jamal, “Abdullah Ibnu Abbas Dan “Pengaruh Pemikirannya dalam Perkembangan Penafsiran Al Qur’an” dalam artikel yang diunduh di http//:fush.uin-suka.ac.id. diakses tanggal 8 April 2012. Hlm. 6-9
[6] Lihat ‘Abd al-‘Aziz, Tafsir Ibnu ‘Abbas (Saudi ‘Arabia: Ummul Qura, t.t.), I, hlm. 27-30
[7] Abd al-‘Aziz, Tafsir Ibnu ‘Abbas, II, hlm. 992
[8] Abd al-‘Aziz, Tafsir Ibnu ‘Abbas, II, hlm. 990
[9] ‘Abd al-‘Aziz, Tafsir Ibnu ‘Abbas,I, hlm. 41

(* Ditulis oleh: Miski M.

0 comments:

Posting Komentar