Engkau tak perlu tahu, bahan dasar dari Blog sederhana ini adalah cinta yang sedang menyala...

DESKRIPSI HADITS TENTANG KUMIS DAN JENGGOT *)

Tinjauan mengenai hadits-hadits Nabi Saw. yang berkenaan dengan persoalan jenggot dan kumis merupakan pembahasan sentral dalam pembuatan makalah ini. Yakni, terkait kajian seputar keberadaan hadits tersebut dari aspek sanad; apakah diriwayatkan oleh para periwayat yang dlabit,’adil, dan mereka yang menyandang predikat shahih, hasan, atau ternyata dla’if; diriwayatkan oleh para mukharrij kenamaan, atau ternyata tidak.
Namun, sebelum mengarah pada pembahasan yang bersangkutan, tentunya perlu kiranya untuk dimulai dengan pemaparan terkait redaksi hadits yang ada; guna mendapatkan gambaran yang utuh  dan komprehensip, sebelum kemudian sampai pada keismpulan akhir, sebagaimana tujuan utama dalam penulisan makalah ini: studi ma’an al-Haits.
A.    Redaksi Hadits Tentang Memelihara Jenggot dan Kumis
            Imam al-Tirmidzi dalam al-Sunan­nya meriwayatkan sebuah hadits tentang kumis dan jenggot, sebagai berikut:
حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ عَلِيٍّ الْخَلَّالُ، حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ نُمَيْرٍ، عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ، عَنْ نَافِعٍ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ: أَحْفُوا الشَّوَارِبَ وَأَعْفُوا اللِّحَى
Menceritakan kepada kami al-Hasan bin ‘Ali al-Khallal, menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Numair, dari ‘Ubaidillah bin ‘Umar, dari Nafi’, dari Ibnu ‘Umar, dia berkata: Rasulullah Saw. bersabda: “Cukurlah kumis dan biarkanlah jenggot.”[2]
            Redaksi hadits di atas merupakan hadits utama atau yang menjadi fokus kajian dalam pembahasan penulis pada bagian penelitian ini. Salah satu pertimbagannya adalah Sunan al-Tirmidzi meskipun dinilai memiliki otoritas yang cukup diakui dalam kajian hadits, tetapi tetap saja ia masih berkedudukan di bawah  Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim, selain itu, alasan berikutnya adalah redaksi hadits di atas cukup jelas dan gambling berbicara kumis dan jenggot meskipun relatif sangat singkat.
1.        Takhrij Hadits
Takhrij hadits merupakan langkah awal yang harus ditempuh sebelum kemudian sampai pada kajian mengenai suatu makna yang terkandung, baik secara tekstual, maupun kontekstual.
Dengan kata lain, tidak mungkin bisa melakukan penelitian terhadap matan sebuah hadits, sebelum dipastikan terlebih dahulu bagaimana kualitas hadits yang bersangkutan, yang dalam hal ini hadits-hadits dengan tema jenggot dan kumis. Maka dari itu, penulis secara operasional, akan melakukannya di bagian ini, tentunya, untuk mempermudah, penulis melakukannya dengan bantuan aplikasinya hadits terkini, seperti aplikasi Lidwa, dan Maktabah Syamilah, dan Mu’jam al-Mufahras Li al-Alfadh al-Hadits.
Metode takhrij yang penulis gunakan dalam hal ini adalah takhrij bi al-Alfaz, atau takhrij dengan menggunakan kata kunci tertentu, dalam hal ini kata, الشارب, الشوارب, dan اللحي. Dan, berdasarkan pencarian penulis terhadap kitab induk hadits yang Sembilan (Kutub al-Sittah), didapati setidaknya dengan perincian nomor hadits sebagai berikut:[3]
a.       Sunan al-Tirmidzi, 2687[4] (ini secara khusus untuk redaksi di atas); 2680, 2681, 2682, 2683, 2684, 2685, 2686, 2688;
b.      Shahih al-Bukhari, 5438, 5439, 5440, 5441, 5442, 5443, 5823;
c.       Shahih Muslim, 377, 378, 379, 380, 381, 382, 383, 384;
d.      Sunan Abu Dawud, 49, 160, 2407, 3666, 3667, 3668;
e.        Muwaththa’ Malik, 788, 790, 1436, 1437, 1488;
f.       Sunan al-Nasa’I, 9, 10, 11, 12, 13, 14, 15, 4289, 4954, 4955, 4956, 4957, 4958, 4959, 4960, 4961, 5130, 5131;
g.      Sunan Ibnu Majah, 288, 289, 290, 291;
h.      Musnad Ahmad, 2072, 2602, 4425, 4889, 4892, 5074, 5716, 6167, 6287, 6835, 6842, 6963, 7479, 8318, 8423, 8430, 8665, 8953, 9945, 11785, 12637, 13183, 17422, 17526, 17606, 21252, 22382, 23909.
Sebagai gambaran sederhana, maka penulis akan memaparkan satu hadits saja untuk setiap judul kitab rujukan:
a.         Shahih al-Bukhari, kitab “al-Libas,” bab “Ihfa al-Lihy,” nomor hadits: 2907:
حَدَّثَنِي مُحَمَّدٌ أَخْبَرَنَا عَبْدَةُ أَخْبَرَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ عَنْ نَافِعٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ انْهَكُوا الشَّوَارِبَ وَأَعْفُوا اللِّحَى
Telah menceritakan kepadaku Muhammad telah mengabarkan kepada kami Abdah telah mengabarkan kepada kami Ubaidullah bin Umar dari Nafi' dari Ibnu Umar, dia berkata; Rasulullah Saw. bersabda: "Cukurlah kumis kalian dan biarkanlah jenggot kalian (panjang)."[5]
b.      Shahih Muslim, kitab “Thaharah,” bab “Hishal al-Fithr,” nomor hadits: 259:
حَدَّثَنِي أَبُو بَكْرِ بْنُ إِسْحَقَ أَخْبَرَنَا ابْنُ أَبِي مَرْيَمَ أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ أَخْبَرَنِي الْعَلَاءُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ يَعْقُوبَ مَوْلَى الْحُرَقَةِ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جُزُّوا الشَّوَارِبَ وَأَرْخُوا اللِّحَى خَالِفُوا الْمَجُوسَ
Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Ishaq telah mengabarkan kepada kami Ibnu Abu Maryam telah mengabarkan kepada kami Muhammad bin Ja'far telah mengabarkan kepadaku al-Ala' bin Abdurrahman bin Ya'qub mantan budak al-Huraqah, dari bapaknya dari Abu Hurairah dia berkata, "Rasulullah Saw. bersabda: "Cukurlah kumis dan panjangkanlah jenggot. Selisihilah kaum Majusi."[6]
c.         Sunan Abu Dawud, kitab “al-Tarajjul,” bab “Fi Akhdz al-Syarib,” nomor hadits: 4199:
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْلَمَةَ الْقَعْنَبِيُّ عَنْ مَالِكٍ عَنْ أَبِي بَكْرِ بْنِ نَافِعٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَ بِإِحْفَاءِ الشَّوَارِبِ وَإِعْفَاءِ اللِّحَى
Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Maslamah Al Qa'nabi dari Malik dari Abu Bakr bin Nafi' dari Bapaknya dari Abdullah bin Umar berkata, "Rasulullah memerintahkan mencukur kumis dan membiarkan janggut."[7]
d.      Sunan al-Nasa’I, kitab “Thaharah,” bab “Ihfa’ al-Syarib wa I’fa’ al-Lihy,” nomor hadits: 16:
أَخْبَرَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ سَعِيدٍ قَالَ حَدَّثَنَا يَحْيَى عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ قَالَ أَخْبَرَنِي نَافِعٌ عَنْ ابْنِ عُمَرَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَحْفُوا الشَّوَارِبَ وَأَعْفُوا اللِّحَى
Telah mengabarkan kepada kami Ubaidullah bin Sa'id ia berkata; telah menceritakan kepada kami Yahya dari Ubaidullah ia berkata; telah mengabarkan kepadaku Nafi' dari Ibnu Umar dari Nabi, beliau bersabda: "Cukurlah kumis dan peliharalah jenggot."[8]
e.       Sunan Ibnu Majah, kitab “Thaharah wa Sunanuha,” bab “Fithrah,” nomor hadits: 239:
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا وَكِيعٌ حَدَّثَنَا زَكَرِيَّا بْنُ أَبِي زَائِدَةَ عَنْ مُصْعَبِ بْنِ شَيْبَةَ عَنْ طَلْقِ بْنِ حَبِيبٍ عَنْ أَبِي الزُّبَيْرِ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَشْرٌ مِنْ الْفِطْرَةِ قَصُّ الشَّارِبِ وَإِعْفَاءُ اللِّحْيَةِ وَالسِّوَاكُ وَالِاسْتِنْشَاقُ بِالْمَاءِ وَقَصُّ الْأَظْفَارِ وَغَسْلُ الْبَرَاجِمِ وَنَتْفُ الْإِبِطِ وَحَلْقُ الْعَانَةِ وَانْتِقَاصُ الْمَاءِ يَعْنِي الِاسْتِنْجَاءَ قَالَ زَكَرِيَّا قَالَ مُصْعَبٌ وَنَسِيتُ الْعَاشِرَةَ إِلَّا أَنْ تَكُونَ الْمَضْمَضَةَ
Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abu Syaibah berkata, telah menceritakan kepada kami Waki' berkata, telah menceritakan kepada kami Zakaria bin Abu Za`idah dari Mush'ab bin Syaibah dari Thalq bin Habib dari Abu Al-Zubair dari Aisyah ia berkata; Rasulullah bersabda: "Sepuluh dari sunah fitrah; mencukur kumis, memelihara janggut, bersiwak, memasukkan air ke dalam hidung, memotong kuku, membasuh ruas jari, mencabut bulu ketiak, mencukur bulu kemaluan dan beristinja` dengan air." Zakaria berkata; Mush'ab berkata; "Aku lupa yang kesepuluh, namun yang pasti adalah berkumur-kumur."[9]
f.       Musnad Ahmad,Musnad Abu Hurairah,” nomor hadits: 7132:
حَدَّثَنَا هُشَيْمٌ عَنْ عُمَرَ بْنِ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قُصُّوا الشَّوَارِبَ وَأَعْفُوا اللِّحَى
Telah menceritakan kepada kami Husyaim dari Umar bin Abu Salamah dari bapaknya, dari Abu Hurairah, dia berkata; Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Salam bersabda: "Cukurlah kumis-kumis kalian dan biarkanlah jenggot-jenggot kalian (memanjang)."[10]
g.      Muwaththa’ Malik, kitab “Al-Sya’r,” bab “al-Sunnah Fi al-Sya’r,” nomor hadits: 1:
و حَدَّثَنِي عَنْ مَالِك عَنْ أَبِي بَكْرِ بْنِ نَافِعٍ عَنْ أَبِيهِ نَافِعٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَ بِإِحْفَاءِ الشَّوَارِبِ وَإِعْفَاءِ اللِّحَى
Telah menceritakan kepadaku dari Malik dari Abu Bakar bin Nafi' dari Bapaknya, Nafi' dari Abdullah bin Umar berkata, "Rasulullah memerintahkan untuk memendekkan kumis dan memelihara jenggot.[11]
          Jadi, setelah dilakukan penelitian terkait keberadaan hadits tersebut dalam Kutub al-Sittah, kesimpulan pastinya adalah, bahwa terdapat banyak hadits dengan tema terkait. Penulis belum menemukan jumlah pastinya, tetapi penemuan pertama berkisar lebih dari 80 buah hadits. Dan, tentu saja, kenyataan ini mengindikasikan bahwa hadits dengan tema di atas diriwayatkan bi al-Ma’na, maka tidak heran apabila kemudian dengan mudah kita temukan ragam redaksi.
Dan, terkait lafal/tema di atas, sebagaimana sudah dikemukan di bagian takhrij, dan sedikit dipaparkan sebelumnya, maka untuk mempermudah gambaran mengenai ragam redaksi tersebut, penulis petakan sebagaimana berikut:[12]
     Dengan kata as-Syawarib :

No
Kata
Arti
Jumlah
Periwayat
1
أَحْفُوا
Potonglah
9
Bukhori, Muslim, Turmudzi, Nasa’i, Ahmad
2
إِحْفَاء
Memotong
5
Muslim, Turmudzi, Abu Dawud, Ahmad, Malik

جُزُّوا
Potonglah
3
Muslim, Ahmad
3
حُفُّوا
Potonglah
2
Ahmad,
4
قُصُّوا
Cukurlah
2
Ahmad,
5
انْهَكُوا
Habiskanlah
1
Bukhori
6
وَخُذُوا
Ambillah
1
Ahmad
7
تُجَزَّ
Memotong
1
Ahmad

No
Kata
Arti
Jumlah
Periwayat
1
فِّرُوا
Tumbuhkanlah
1
Bukhori,
2
أَعْفُوا
Biarkanlah
15
Bukhori, Muslim, Turmudzi, Nasa’i, Ahmad,
3
إِعْفَاءِ
Membiarkan
4
Muslim, Turmudzi, Abu Dawud,
4
أَوْفُوا
Panjangkanlah
1
Muslim,
5
أَرْخُوا
Biarkanlah
1
Muslim
6
تُعْفَى
Membiarkan
1
Ahmad,
            Dengan kata as-Syarib

No
Kata
Arti
Jumlah
Periwayat
1
قَصُّ
Potonglah
38
Bukhori, Muslim, Turmudzi, Nasa’i, Abu Dawud, Ibn Majah, Ahmad, Malik
2
يَقُصُّ
Memotong
1
Ahmad
3
تَقُصُّ َ
Memotong
2
Nasa’i, Abu Dawud
4
فَقَصَّ
Maka potonglah
3
Ahmad, Malik
5
أَخْذَ
Mengambil
4
Turmudzi, Nasa’i, Malik
6
يَأْخُذُ
Mengambil
4
Turmudzi, Nasa’i
8
خُذُوا
Ambillah
1
Ahmad
7
تَقْصِيرُ
Memendekkan
1
Nasa’i
2.        Analisis Sanad[13]
a.       Al-Hasan bin ‘Ali bin Muhammad, Abu ‘Ali, menurut pendapat lain: Abu Muhammad al-Halwani al-Raihani, tinggal di Mekah. Diantara guru-gurunya, adalah: ‘Abdullah bin Numair, Sa’id bin Hakam bin Abi Maryam, Ibrahim bin Khalid al-Shan’ani, dan Sulaiman bin Dawud al-Hasyimi, Sedangkan murid-muridnya adalah Imam al-Tirmidzi, Muhammad bin Muhammad bin ‘Uqbah al-Syaibani, Ahmad bin ‘Ali al-Abar, ‘Abdullah bin Shalih al-Bukhari, dan lain-lain.[14]
b.      Sedangkan mengenai kredibilitasnya, Ibnu Hajar menilainya tsiqat hafidh, dan memiliki banyak karya.[15]
c.       ‘Abdullah bin ‘Umar bin Khaththab, Abu ‘Abd al-Rahman, seorang sahabat Nabi Saw. Yang masuk Islam sebelum baligh. Menerima hadits dari Nabi Saw. Bilal, Rafi’ bin Khadij, dan lain-lain. Sedangkan yang menerima hadits darinya, antara lain: Nafi’, Muhammad bin Muslim bin Syihab al-Zuhri, Masruq bin al-Ajdza’, dan Maimun bin Mahran.[16]
d.      Mengenai kredibilitas, tentu sudah tidak asing lagi, khususnya bagi pemerhati ulum hadits. Sebagaimana disebutkan di muka, bahwa beliau adalah salah satu sahabat Nabi. Oleh karena itu, sudah barang tentu, berangkat dari konsep kullu al-shahabah ‘udul, secara otomatis tidak perlu dibahas lagi.
e.       Nafi’: Abu Abdillah al-Madani, Nafi’ pelayan Ibnu ‘Umar. Meriwayatkan hadits dari ‘Abdullah bin ‘Umar, Abu Sa’id al-Khudri, ‘Abdullah bin Muhammad bin Abu Bakar, Mughirah bin Hakim al-Shan’ani, dan lain-lain.
f.       Sedangkan yang meriwayatkan darinya antara lain: ‘Ubaidillah bin ‘Umar, ‘Atha’ al-Khurasani, ‘Ubaidillah bin Abi Ja’far al-Mishri, dan ‘Isa bin Hafsh bin ‘Ashim bin ‘Umar bin Khaththab.[17]
g.      Mengenai krebidilitas, Ibnu Hajar menyebutkan: tsiqat, tsabt, faqih, terkenal.[18]
h.      ‘Ubaidillah bin ‘Umar: bernama lengkap ‘Ubaidillah bin ‘Umar bin Hafsh bin ‘Ashim bin ‘Umar bin al-Khathhab. Abu ‘Utsman al-Madani. Meriwayatkan hadits dari Nafi’, Salim bin ‘Abdillah bin ‘Umar, Muhammad bin al-Munkadir, Hisyam bin ‘Urwah, dan lain-lain. Sedangkan yang meriwayatkan darinya, antara lain: ‘Abdullah bin Numair, ‘Abdullah bin al-Mubarak, ‘Abd al-Malik bin Juraij, dan ‘Abd al-A’la bin ‘Abd al-A’la.[19]
i.        Menurut paparan Ibnu Hajar al-‘Asqalani, dia berstatus: tsiqat tsabt.[20]
j.        ‘Abdullah bin Numair, bernama lengkap ‘Abdullah bin Numair al-Hamdani al-Khariqi, Abu Hisyam al-Kufi. Guru-gurunya, antara lain: ‘Ubaidillah bin ‘Umar, ‘Utsman bin Hakim, Muhammad bin Abi Ismail, dan Musa bin Muslim al-Shaghir. Sementara murid-muridnya, antara lain: al-Hasan bin ‘Ali al-Khallal, Ahmad bin Hambal, ‘Ali bin al-Madini, dan al-Husain bin Manshur al-Naisaburi.[21]
k.      Mengenai kredibilitas, Ibnu Hajar mengatakan: tsiqat, pemilik hadits dari golongan ahlu sunnah.[22]
3.      Kualitas Sanad
Ditinjau dari segi kesahihan riwayat hadis yang ditawarkan oleh Ulama hadis seperti ketersambungan sanad (ittishal al-Sanad), keadilan perawi (adālah al-wī), kedhabitan perawi (dlabth al-Rawi), tidak ada illat dan tidak syadz, maka hadis-hadis diatas  berkualitas  shaīḥ.  Atau, dalam istilah lain, kita mengenal adanya dua unsur yang harus ada dalam sebuah hadits aga ia bisa dikatakan shahih:
a.         Unsur kaidah mayor yang pertama: Sanad bersambung, mengandung unsur kaidah minor: (a). Muttashil (bersambung), (b). Marfu’ (bersandar kepada Nabi saw), (c). Maḥfuzh (terhindar dari syudzudz) dan (d). Bukan mual (bercacat).
b.         Unsur kaidah mayor yang kedua, periwayat  bersifat adil,  mengandung unsur-unsur kaidah minor: (a). Beragama Islam (b). Mukallaf (balig dan berakal sehat), (c). Melaksanakan  ketentuan agama   Islam   dan   (d). Memelihara muru’ah (adab kesopanan pribadi yang membawa pemeliharaan diri manusia kepada tegaknya kebajikan moral dan kebiasaan-kebiasaan).
     Jadi, berdasarkan pada analisis sanad di atas, dan berangkat dari teori mayor-minor sebagaimana disebutkan, maka bisa dipastikan hadits di atas berkualitas shahih secara sanad. Bahkan secara matan juga bisa kita katakan shahih, dengan pertimbangan tidak ada “persoalan” dan satu sama lain tidak ada pertentangan.
Namun, untuk penelitian lebih jauh, selebihnya akan penulis pada bab berikut.
B.      Pemaknaan Terhadap Hadits
1.        Analisis Matan
a.       Kajian Linguistik
Kajian menggunakan prosedur gramatikal bahasa Arab tentu saja terbilang sangat urgen untuk dilakukan. Karena setiap teks mesti ditafsirkan berdarsarkan bahasa Aslinya, yaitu, untuk konteks ini adalah bahasa Arab.
Mengenai beragamnya ungkapan yang digunakan dalam redaksi di atas, sudah penulis sebutkan secara ringkas dalam table. Jadi, barangkali tidak perlu lagi untuk dibahas di bagian ini. Dan, tentu saja prinsip ini tidak berlaku untuk hadits yang menjadi fokus kajian, yakni, tetap akan penulis singgung lebih jauh,
 أَحْفُوا: sama dengan mencukur. Mengingat ini berbentuk amar (perintah), maka bermakna ”Cukurlah.” Sedangkan الشَّوَارِبِ: artinya adalah rambut yang tumbuh di atas bibir bagian atas, atau bahasa lainnya: kumis.
وَأَعْفُوا اللِّحَى: biarkanlah jenggot, jangan dipotong, dan perlu pemeliharaan. Atau, biarkan tumbuh sebagaimana lazimnya.
b.      Kajian Tematik Konprehensip
Yakni dengan melakukan penghimpunan terhadap hadits shahih yang ada, dan masih dalam tema yang sama, guna mendapatkan pemahaman yang komprehensip, utuh, dan menyeluruh.
Kaitannya dengan tema bahasan, penulis mengumpulkan berbagai hadits yang terkait, termasuk pula yang tidak berisi perintah, yakni hanya sekedar penjelasan mengenai, bahwa mencukur kumis dan jenggot termasuk dari fitrah.
c.       Kajian Konfirmatif
Adalah sebuah metode untuk memahami hadits atau sunnah dalam kerangka bimbingan atau petunjuk al-Quran. Kaitannya dengan masalah memelihara jenggot dan memotong kumis memang tidak kita jumpai dalam al-Quran yang secara tegas membahas. Tetapi setidaknya, ada satu poin penting yang menjadi pesan tegas, bahwa ketaatan kepada Rasulullah Saw. merupakan kewajiban. Sekali lagi ini terkait dengan kenyataan bahwa sebagian besar hadits memotong kumis dan membiarkan jenggot berbentuk perintah (amar).
2.        Analisi Historis
     Kalau kita perhatikan secara seksama dari beberapa redaksi hadits yang berbicara jenggot dan kumis, ada sebagian hadits menggunakan kata: خَالِفُوا الْمَجُوسَ dan خَالِفُوا الْمُشْرِكِينَ. Dari dua kalimat ini saja ada pesan penting yang dapat kita gali, bahwa perintah mengenai memelihara jenggot dan memotong kumis tidak bisa terlepaskan dari setting sejarah pada masa hadits tersebut disabdakan. Dengan kata lain, secara eksplisit dua kalimat tersebut berbicara tentang dikotomi antara umat Islam dengan umat non Islam, dan hal tersebut menyebabkan harus adanya garis pembeda satu sama lain.
C.     Analisa Generalisasi, Pemaknaan dan Pengamalan dalam Konteks Kekinian
            Ini merupakan kesimpulan dari dua analisa sebelumnya, atau sebagai penentu sikap dalam memberikan pemaknaan setelah melalui dua proses terdahulu.
            Sebagaimana disinggung di muka, bahwa secara umum hadits dengan tema di atas berbentuk perintah, baik langusng dengan ungkapan menyuruh (fi’il amar), atau diganti dengan ungkapan “Memerintahkan kepada kami” oleh perawinya. Bahkan ada yang secara tegas memaparkan bahwa yang tidak mencukur jenggotnya bukanlah dari golongan Nabi Muhammad. Apabila demikian, maka bisa jadi wajib dan berlaku untuk umat Islam.
            Kembali pada persoalan analisa generalisasi, maka yang ingin penulis suguhkan adalah ide moral yang terkandung, yang merupakan hasil akhir dari dua analisa sebelumnya, guna mencari titik terang antara
            Namun, apabila dilihat dari aspek adanya beberapa hadits yang juga tidak kalah dari segi kualitas (atau bahkan mungkin dari segi kuantitas) yang mengatakan bahwa masalah memelihara jenggot dan memotong kumis merupakan salah satu dari bagian fitrah. Berbicara fitrah, otomatis, ia milik semua orang, tidak secara khusus umat Islam.
            Persoalan selanjutnya adalah persoalan identitas pemisah antara muslim dengan non muslim. Tentu saja hal ini berkaitan kuat dengan realitas social yang ada ketika itu: dikotomi, perang, dan seterusnya. Jadi, memang sangat logis akan adanya pembeda.
            Sebagai pemaknaan akhir dari dua analisa sebelumnya, menurut penulis hadits di atas lebih tepatnya dipahami sebagai sebuah ajaran luhur kemanusiaan atau ide moral, tidak melulu persoalan agama. Kaitannya dengan bentuk “perintah,” sekali lagi ini erat kaitannya dengan pentingnya berbeda dengan mereka yang bukan Islam, karena adanya hubungan yang tidak sehat ketika itu.
            Sedangkan hari ini, kondisi social sudah sangat berbeda jauh dengan kondisi ketika itu. Hari ini kita bisa hidup berdampingan antar pemeluk agama yang berbeda-beda.
            Lagi pula, perintah saja tidak serta merta dipahami sebagai sebuah kewajiban, buktinya, tidak ada penjelasan dalam literatur yang ada, bahwa para ulama dan umat Islam mengadakan consensus mengenai wajibnya memanjangkan jenggot dan memotong kumis.
            Dasar penguat dari pemaknaan ini antara lain, dengan adanya berbagai hadits yang berbicara fitrah, saat dikaitkan dengan tema jenggot dan kumis. Dan, yang tidak kalah penting, bahwa factor geografis dan wilayah tertentu juga berperan penting. Contoh sederhanaya, Arab identic dengan pertumbuhan jengggot dan kumis yang relative lebih cepat daripada masyarakat Indonesia, dan sebagainya.


[1] Guna memenuhi tugas akhir dari matakuliah Ilmu Ma’anil Hadis, dengan dosen pengampu: Indal Abror, MA.
[2] Abu ‘Isa al-Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi, tahqiq dan ta’liq: Ibrahim ‘Athwah (Mesir: Mushthafa al-Babi al-Halabi, cet. II, 1975), V, hlm. 95, dalam kitab “al-adab,” bab “Ma ja’a Fi Ihfa al-Lhyah,” nomor hadits 2763
[3] Secara khusus mengenai pencarian ini penulis mencukupkan pada penelitian terhadap aplikasi Lidwa saja, dengan tujuan untuk mempermudah. Sedangkan aplikasi Maktabah Syamilah dan buku Mu’jam al-Mufahras dipergunakan sebagai penguat.
Pada bagian ini penulis sengaja meringkas pada penomorannya saja, dan tidak menjelaskan mengenai kitab dan bab yang terdapat dalam rujukan yang ada. Hal tersebut dilakukan demi menghindari pembahasan yang terlalu panjang. Atau, dengan kata lain, penyebutan kitab dan bab hanya akan dilakukan untuk hadits-hadits yang ditampilkan saja.
[4] Penomoran ini mengikuti penomoran yang ada dalam aplikasi Lidwa. Sedangkan apabila berdasarkan pada keterangan yang terdapat dalam aplikasi Maktabah Syamilah, maka penomorannya menjadi 2763, sebagaimana yang disebutkan dalam catatan kaki nomor 2.
[5] Muhammad bin Ismail al-Bukhari, al-Jami’ al-Shahih, tahqiq: Muhammad Zuhair Nashir al-Nashir (ttp. Dar Thauq al-Najah, cet. I, 1422 H), VII, hlm. 160
[6] Muslim bin Hajjaj, al-Shahih, tahqiq: Muhammad Fu’ad ‘Abd al-Baqi (Beirut: Dar Ihya al-Turats al-‘Arabi, t.t.), I, 222. (nomor hadits versi Lidwa: 383)
[7] Abu Dawud Sulaiman bin al-Asy’ats, Sunan Abu Dawud, tahqiq: Muhammad Muhy al-Din (Beirut: Maktabah al-‘Ashriyah, t.t.), IV, hlm. 48 (nomor hadits versi Lidwa: 3667)
[8] Ahmad bin Syu’aib al-Nasa’I, al-Mujtaba min al-Sunan, tahqiq: ‘Abd al-Fattah (Halb: Maktab al-Mathbu’at al-Islamiyah, cet. II, 1986), I, hlm. 16, (nomor hadits versi Lidwa: 5131)
[9] Abu ‘Abdillah Muhammad al-Qazwini, Sunan Ibnu Majah, tahqiq: Muhammad Fuad ‘Abd al-Baqi (ttp. Dar Ihya al-Kutub al-‘Arabiyah, t.t.), I, hlm. 107 (nomor hadits versi Lidwa: 289)
[10] Ahmad bin Hambal, Musnad Ahmad, tahqiq: Syu’aib al-Arnauth dkk (ttp. Mu’assasah al-Risalah, cet. I, 2001), hlm. XII, hlm. 34 (nomor hadits versi Lidwa: 6835)
[11] Malik bin Anas, Muwaththa’, ta’liq: Muhammad Fuad ‘Abd al-Baqi (Beirut-Libanon: Dar Ihya al-Kutub al-‘Arabi, 1985), II, hlm. 947 (nomor hadits versi Lidwa: 1488)
[12] Secara sederhana, mengenai beragamnya redaksi hadits di atas bisa dilihat di A. J. Wensinck, Mu’jam al-Mufahras (Leiden: E. J. Brill, 1946), III, hlm. 91.
Sedangkan, terkait pemetaan rinci sebagaimana dipaparkan dalam table, sepenuhnya penulis kutip dari: http://nazhroul.wordpress.com/2010/06/27/memelihara-kumis-dan-jenggot-maani-hadis/, diakses pada bulan Juni (?), tahun 2013

[13] Untuk mempermudah analisis sanad, maka terkait biografi singkatnya penulis mencukupkan pada paparan yang dikemukakan oleh al-Mizzi, dalam Tahdzib al-Kamalnya. Sedangkan untuk penilaian kredibilitasnya, penulis menjadikan Ibnu Hajar al-‘Asqalani, dengan karyanya Taqrib al-Tahdzib, sebagai rujukan utama; salah satu pertimbangannya adalah bahwa, paparan beliau dalam kitab tersebut dinilai sebagai kesimpulan dari berbagai pendapat ulama terkait kredibilitas periwayat terkait.
[14] Lihat Abu al-Hajjaj al-Mizzi, Tahdzib al-Kamal, tahqiq: Basysyar ‘A. Ma’ruf (Beirut: Muassasah al-Risalah, cet. I 1980), VI, hlm. 259-261
[15] Abu al-Fadl Ahmad bin Hajar al-‘Asqalani, Taqrib al-Tahdzib, tahqiq: Muhammad ‘A. (Suriah: Dar al-Rasyid, cet. I, 1986), hlm. 162
[16] Biografi lengkapnya Lihat Abu al-Hajjaj al-Mizzi, Tahdzib al-Kamal, tahqiq: Basysyar ‘A. Ma’ruf (Beirut: Muassasah al-Risalah, cet. I 1980),  XV, hlm. 332-341
[17] Biografi lengkapnya Lihat Abu al-Hajjaj al-Mizzi, Tahdzib al-Kamal, tahqiq: Basysyar ‘A. Ma’ruf (Beirut: Muassasah al-Risalah, cet. I 1980),  XXIX, hlm. 298-306
[18] Abu al-Fadl Ahmad bin Hajar al-‘Asqalani, Taqrib al-Tahdzib, tahqiq: Muhammad ‘A,…., hlm. 559
[19] Biografi lengkapnya Lihat Abu al-Hajjaj al-Mizzi, Tahdzib al-Kamal,…..,  XXIX, hlm. 124
[20] Abu al-Fadl Ahmad bin Hajar al-‘Asqalani, Taqrib al-Tahdzib, tahqiq: Muhammad ‘A,…., hlm. 373
[21] Biografi lengkapnya Lihat Abu al-Hajjaj al-Mizzi, Tahdzib al-Kamal,…..,  XXVI, hlm. 225-231
[22] Abu al-Fadl Ahmad bin Hajar al-‘Asqalani, Taqrib al-Tahdzib, tahqiq: Muhammad ‘A,…., hlm. 327

Ditulis oleh: Miski M.

0 comments:

Posting Komentar